Gempita.co – Lebih dari 1.500 ulama perempuan dari 31 negara ikut meramaikan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) II resmi dibuka pada Kamis (24/11) malam, selama tiga hari yang diselenggarakan di Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari, Bangsri Jepara, Jawa Tengah.
Kongres kali ini akan mengupas lima isu aktual, antara lain soal kepemimpinan perempuan dalam melindungi bangsa dari ideologi intoleran dan penganjur kekerasan, perlindungan perempuan dari kehamilan akibat perkosaan, pemaksaan perkawinan dan pemotongan atau pelukaan genitalia perempuan, hingga perempuan dan isu lingkungan hidup. Kelima isu ini dan keikutsertaan ulama-ulama perempuan mancanegara dinilai penting karena adanya korelasi isu di lintas negara.
Ketua Pengarah Majelis KUPI II Nyai Badriyah Fayumi mengatakan menceritakan pesatnya kemajuan ulama perempuan di Indonesia beberapa tahun terakhir ini.
“Kalau kita menyebut ulama, 30-40 tahun lalu tidak terbayang ada ulama perempuan. Bahkan jika ada kiai pemilik pesantren tutup usia, walaupun ada istrinya, atau nyai, yang sebenarnya pantas menjadi pengganti, tetap dinilai tidak pantas dan dicari putranya, yang masih sangat belia sekali pun, yang penting laki-laki,” ujarnya seraya menambahkan hal itu tidak terjadi lagi saat ini.
Ia mencontohkan Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari, di Bangsri Jepara, yang justru dipimpin Nyai Hindun Anissa, Pondon Pesantren Kebon Jambu Al Islamy Ciwaringin, Cirebon yang dipimpin Nyai Masriyah Amva, dan Pondok Pesantren Putri Al Badiiyyah Kajen, Pati, yang didirikan Nyai Nafsiah Sahal.
Dibandingkan negara-negara lain, Indonesia memang memiliki karakteristik keislaman yang lebih terbuka bagi perempuan untuk beraktivitas di berbagai ruang publik. Hal ini memungkinkan terselenggaranya KUPI I di Cirebon tahun 2017 yang tidak saja meneguhkan kehadiran ulama perempuan, tetapi juga menjadi cikal bakal gerakan kesadaran untuk memperjuangkan anak perempuan dari pernikahan dini, melindungi perempuan dari kekerasan seksual – di dalam ikatan perkawinan sekali pun yang dulu dianggap wajar – serta berbagai fatwa yang didasarkan pada kepentingan perempuan sebagai subyek.
Sumber: VoA