Jakarta, Gempita.co – Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara membantah tudingan bahwa pemerintah doyan berutang. Menurutnya, di mata dunia Indonesia dicap sebagai salah satu negara yang memiliki disiplin fiskal sangat tinggi.
“Defisit anggaran saat situasi normal selalu di bawah tiga persen. Itu artinya Indonesia paling enggak doyan ngutang terlalu banyak,” katanya di Jakarta, belum lama ini.
Suahasil mencontohkan ada negara lain di dunia yang paling doyan ngutang, yaitu negara-negara di Amerika Latin. “Jangan cuma lihat situasi dalam negeri, coba lihat negara Amerika latin. Semuanya doyan ngutang,” ujarnya.
Menurutnya, dunia internasional mengecap Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki disiplin fiskal sangat tinggi. Meski saat ini defisit APBN naik menjadi 6,34 persen dan rasio utang menjadi 35 persen, Suahasil menilai hal itu dapat dipertanggungjawabkan dan sesuai dengan kebutuhan dalam negeri saat pandemi Covid-19.
Apalagi, penerimaan negara terjun bebas karena ada banyak masyarakat atau pengusaha yang tidak membayar pajak.
“Sekarang menghadapi Covid-19 ini kebutuhannya membesar. Kebutuhan kesehatan, perlindungan sosial, support dunia usaha. Istilahnya kita minta izin kepada masyarakat, kita defisit 6,3 persen nih,” tuturnya.
Utang yang diperoleh pemerintah, kata Suahasil, digunakan untuk membiayai sektor kesehatan, jaring pengamanan sosial, dan pemulihan dunia usaha.
“Kita butuh upgrade 132 rumah sakit agar tenaga medis mampu menangani pasien Covid-19. Termasuk perlindungan sosial, bagi masyarakat dan dunia usaha. Ada yang di-PHK atau penghasilannya turun drastis akibat pembatasan sosial berskala besar (PSBB),” jelasnya.
Untuk itu, ia meminta masyarakat mendukung pemerintah dengan menjalankan protokol kesehatan di masa-masa transisi.
“Pemerintah sangat fleksibel. Kita enggak tahu Covid-19 ini akan berlangsung berapa lama. Sekarang masuk PSBB transisi, kegiatan sosial ekonomi dimulai lagi dengan protokol kesehatan,” ucapnya.
Suahasil juga mengungkapkan negara saat ini masih membayar utang dari warisan krisis yang terjadi pada tahun 1997-1998 silam. Saat itu, rasio utang Indonesia mencapai 100 persen dari produk domestik bruto (PDB).
“Utang 1998 masih ada yang belum dibayar. Artinya, masih ada yang harus dibayar sampai sekarang dan itu 22 tahun lalu. Ibaratnya, orang tua kita memutuskan utang,” ungkapnya.
Suahasil menjelaskan utang tersebut tercatat dalam neraca Bank Indonesia. Namun, dia memastikan rasio utang negara pada 2020 diperkirakan jauh lebih kecil dibandingkan dengan 1998, yakni 30-35 persen dari PDB. Pinjaman pun didapat dengan penjualan surat-surat utang negara, baik ke dalam maupun luar negeri.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah Redjalam, mengatakan peningkatan utang akan terjadi karena agresifnya pemerintah dalam menarik pembiayaan di masa pandemi.
“Di satu sisi penerimaan pemerintah menurun drastis sehingga defisit anggaran melebar dan membutuhkan pembiayaan yang jauh lebih besar,” ujarnya.
Piter menilai anggaran kebutuhan penanggulangan dampak wabah berpotensi terus bertambah. Akibatnya peningkatan utang pun tak terhindarkan.
“Fenomena ini akan berlanjut selama wabah masih berlangsung karena kondisi kita sekarang ini dalam suasana tidak normal dan tidak banyak pilihan,” katanya.