Jakarta, Gempita.co-Pandemi Covid 19 telah berlangsung nyaris 8 bulan. Selama masa itu pula, situasi dan kondisi perekonomian kalangan masyarakat menengah ke bawah semakin memprihatinkan. Gelombang PHK, penurunan daya beli hingga tutupnya satu persatu usaha makanan dan warung-warung kecil sebagai akibat aturan-aturan ketat yang diberlakukan pemerintah dalam mengendalikan Covid 19. Keadaan semakin membingungkan karena mereka mendengar isu yang tidak mereka mengerti seperti isu boikot.
Seperti yang disampaikan Ojim pemilik toko kelontong di kawasan Cilebut Barat, Kab Bogor. “Jualan makanan dan minuman saya sangat menurun selama masa pandemi – hampir 40 persen turunnya dibanding sebelum COVID, mungkin banyak orang yang di PHK atau gajinya dikurangin,” Jelasnya, Minggu (1/11/2020).
Guna menyiasati pemasukan yang menurun sejumlah karyawan harian toko Ojim dilakukan perampingan bahkan hingga anaknya turut diperbantukan untuk melayani pembeli. “Kita sebisa mungkin lakukan penghematan pengeluaran, salah satunya dengan mengurangi jumlah karyawan yang bekerja di toko ini sampai situasi kembali normal,” ujarnya.
Soal sepinya pembeli dalam beberapa bulan terakhir tak hanya dikeluhkan Ojim. Sari, pemilik warung bakso di perumnas Depok juga mengeluhkan hal yang sama. Hanya saja, menurut sari bukan pembelinya yang sepi, melainkan kebijakan pembatasan jam malam di Kota Depok.
“Kita kan buka dari sore, yang beli bakso juga biasanya sore. Sekarang jam 6 atau 7 malam sudah harus tutup, dagang Cuma berapa jam. Pernah buka dari siang, tapi memang ramai pembeli itu sore dan malam,” ujarnya. Dikatakan Sari, jika biasanya ia pulang mendorong gerobak kosong setelah berjualan, sekarang tak jarang gerobak bakso Sari pulang kerumah dalam keadaan masih penuh dengan kuah kaldu dan bakso.
Ditanya mengenai tanggapan pelanggannya, Sari menjawab antusias. “Pasti yang pelanggan tetap, yang udah biasa makan di sini suka ngeluh. Pernah lagi ada yang makan trus di suruh tutup. Kita bingung juga sama aturan. Belum lagi sekarang katanya ada isu boikot, saya kesulitan cari Aqua untuk pelanggan. Diganti merek lain, yang udah biasa minum merek lama nggak mau. Tetap nyarinya Aqua. Biasanya sehari saya juga bisa jual 2-3 dus aqua botol, sekarang sementara diganti yang lain, 1 dus pun nggak habis,” papar Sari.
Sari bukan satu-satunya pedagang kecil yang bingung dengan aturan-aturan berjualan sejak pandemi, yang sekaligus dibuat lebih bingung lagi akibat seruan boikot produk Perancis yang ramai dalam 1 minggu terakhir ini. Saya jualan Aqua bertahun tahun karena itu produk halal dan disukai konsumen. Nanti gara gara ribut ribut boikot kalau jualan lebih jelek gimana saya mau kasih makan anak di rumah? kata Sari
Kasno, pemilik warung sembako dan kebutuhan sehari-hari di kawasan Bojonggede ini juga mengeluhkan beberapa produk yang bisa susah didapatkan untuk warungnya. “Yang mulai kerasa itu ya, karena air minum atau susu anak yang dibutuh sehari-hari. Biasanya kalau ada ribut ribut, nanti pedagang gede bisa mainin harga karena produk lagi susah didapat. Selama ini susu SGM sama Aqua yang paling laku. Kalau nanti harganya dimainin gara gara isu boikot bisa repot jualan saya. gede katanya udah ikut-ikutan boikot. Tapi sejauh ini yang mampir mau beli minuman tetap nyarinya Aqua dan ibu ibu pun masih beli susu SGM,” jelas Kasno.
Warung yang kebetulan berlokasi di pinggir jalan ini, selain menjadi tujuan warga sekitar membeli barang kebutuhan harian, memang kerap menjadi tempat persinggahan para pengendara motor, sekedar berhenti untuk membeli minuman.
Isu tentang boikot produk Perancis, kata Kasno hanya bikin pedagang bingung dan resah. “Itu produk Aqua, SGM semua kan buatan Indonesia dan bertahun tahun gak ada masalah karena memang produk yang sudah lama beredar. Sekarang udah lagi pandemi, malah banyak isu yang aneh aneh, bikin saya bingung. Tapi pelanggan sepertinya masih beli sih produk yang biasa mereka beli, termasuk produk kosmetik semua merek,” kata Kasno.
Produk-produk kosmetik yang katanya perusahaan Perancis juga mengalami dampak. “Sebelumnya sabun cuci muka merek Garnier itu banyak yang beli, yang sachetnya. Kemarin masih ada yang nyari cuma nggak banyak. Ada juga yang biasanya pakai Garnier, tapi karena isu boikot, mau ganti ke merek lain tapi nggak ada yang sachet,” jelas Kasno.
Selain pedagang, beberapa ibu ibu juga menyuarakan keresahan mereka di sosial media. Banyak yang bingung dengan isu isu seruan boikot di sosial media.
“Ini musim pandemi, kata dokter anak anak butuh nutrisi untuk menjaga kesehatan dan daya tahan tubuh. Lah kalau nanti boikat boikot itu biasanya pedagang sembunyikan produk, terus produk jadi langka dan harganya naik, gimana saya mau mengatur biaya hidup keluarga?” kata Ningsih, seorang ibu berusia 25 tahun yang tinggal di Cibubur. Selama ini saya kasih anak saya Bebelac karena itu yang paling cocok, jelas Ningsih.
Kekhawatiran Ningsih juga dikeluhkan oleh Alda, 26 tahun, seorang ibu beranak dua yang tinggal di Pasar Minggu. “Kenapa ya urusan politik yang katanya terjadi di Perancis sampai berdampak pada susu anak saya? kan semua produk susu anak di Indonesia udah dapat izin BPOM, halal pula, kenapa harus dibawa bawa urusan politik? hidup sudah sulit karena pandemi apa harus dibuat susah lagi dengan susu langka dan harga mahal?,” keluhnya.
Foto: Pedagang kecil sedang melayani pembeli.