Jakarta, Gempita.co – Masyarakat keturunan Tionghoa yang tersebar di penjuru dunia, termasuk Indonesia, Tahun Baru Imlek dinilai merupakan hari raya paling penting.
Perayaan Tahun Baru Imlek dirayakan pada tanggal 1 hingga 15 di bulan pertama penanggalan kalender Tiongkok yang menggabungkan perhitungan matahari, bulan, dua energi yin yang, konstelasi bintang atau astrologi shio, 24 musim, dan lima unsur. Rangkaian perayaan Imlek diakhiri dengan Cap Go Meh pada hari terakhir bulan purnama sesuai kalender Tiongkok.
Nama Imlek berawal dari dialek Hokkian yang memiliki makna kata ‘Im’ berarti bulan dan kata ‘Le’ berarti penanggalan. Imlek dikenal juga dengan istilah Nong Li, yang artinya penanggalan petani.
Hal itu dilatarbelakangi karena sebagian besar orang Tionghoa zaman dahulu bekerja sebagai petani. Para petani tersebut mengandalkan kemampuan mereka untuk membaca alam, pergerakan bintang, bulan, dan benda angkasa lainnya untuk bercocok tanam.
Perayaan Tahun Baru Imlek sebenarnya adalah perayaan yang pertama kali dimulai pada 4715 SM sejak dinasti awal-awal di Tiongkok untuk menyambut musim semi, yang biasa dikenal dengan sebutan Chun Jie atau Festival Musim Semi.
Masyarakat Tionghoa yang dahulu mayoritas pekerjaannya bercocok tanam menyambut musim semi dengan suka cita karena pertanda bahwa musim dingin akan segera berlalu dan mereka dapat menanam lagi. Kebanyakan yang mereka tanam adalah padi (Tiongkok Selatan) dan gandum (Tiongkok Utara) serta tanaman pertanian lainnya. Karena mengandalkan alam untuk kehidupan mereka, penyambutan datangnya musim semi merupakan keharusan yang dirayakan dengan meriah.
Malam Tahun Baru Imlek dikenal sebagai Chu Xi yang berarti malam pergantian tahun. Karena seperlima penghuni bumi adalah orang Tionghoa, maka Tahun Baru Imlek dirayakan oleh hampir seluruh pelosok dunia. Banyak negara yang bertetangga dengan Tiongkok turut merayakan Tahun Baru Imlek dan menjadikannya sebagai hari libur besar, seperti Taiwan, Mongolia, Vietnam, Nepal, Bhutan, dan Indonesia.
Di Tiongkok, adat dan tradisi wilayah yang berkaitan dengan perayaan Imlek sangat beragam. Secara umum, kebanyakan berbagi tema yang sama dengan perayaan tahun baru lainnya, seperti perjamuan makan malam pada malam tahun baru, kunjungan ke keluarga besar, dan penyulutan kembang api.
Namun, ada pula tradisi yang sangat khas dari perayaan Imlek, salah satunya wajib memiliki unsur warna merah. Menurut kepercayaan orang Tionghoa, nian atau sejenis makhluk buas yang hidup di dasar laut atau gunung akan keluar saat Tahun Baru Imlek.
Kedatangan mereka pun dipercaya akan mengganggu manusia, terutama anak kecil. Namun, nian yang takut dengan warna merah dapat diusir dengan menghias rumah serta memakai pakaian dan aksesoris berwarna merah. Oleh sebab itu, tidak heran kalau nuansa merah begitu jelas terlihat saat Imlek. Selain itu, warna merah juga memiliki arti akan harapan terhadap hal-hal yang baik di tahun yang baru.
Tradisi khas lainnya adalah pemberian angpau. Bagi anak-anak dan yang masih lajang, perayaan Imlek berarti banjir uang karena orang tua atau mereka yang sudah menikah diwajibkan memberikan angpau. Jumlahnya tidak harus besar, yang penting berupa uang kertas baru dan bukan berbentuk uang logam.
Bagi-bagi angpau juga dipercaya makin memperlancar rezeki di kemudian hari. Selain itu, pemberian angpau melambangkan harapan orang tua kepada anak muda agar lebih makmur di tahun yang baru.
Ada pula tradisi unik lainnya, yaitu larangan untuk tidak boleh membalik ikan yang disantap saat perayaan Imlek. Ikan yang biasanya dinikmati saat Imlek adalah bandeng. Menyantap ikan saat merayakan Imlek tidak boleh membalik ikan tersebut untuk mengambil dagingnya pada bagian bawah.
Selain itu, dilarang menghabiskan ikan tersebut dan harus menyisakannya agar bisa dinikmati esok hari. Tradisi ini merupakan kepercayaan masyarakat Tionghoa yang melambangkan nilai surplus untuk tahun yang akan datang.
Sumber: berbagai sumber