Gempita.co- Kepala pelatih sektor ganda campuran Pelatnas PBSI di Cipayung, Jakarta Timur, Richard Leonard Mainaky (56), mengumumkan pensiun sebagai pelatih pada 27 September mendatang.
Keputusan ini dia ambil setelah mengabdi dan mendedikasikan diri selama 26 tahun di pelatnas PBSI. Keluarga menjadi alasan utama Richard akhirnya memilih berhenti
Richard yang akrab disapa Kak Icad oleh anak-anak asuhnya ini adalah pelatih bertangan dingin. Tegas, disiplin, dan komitmen adalah karakternya dalam membangun sektor ganda campuran yang dulu sempat dianaktirikan.
Kehadirannya sejak tahun 1995 di Pelatnas PBSI membawa perubahan sangat signifikan, bahkan sekarang sektor ganda campuran menjadi salah satu kekuatan terbesar bulutangkis Indonesia.
Sederet gelar dan prestasi berhasil diukir pelatih asal Manado itu, dari mulai All England, Kejuaraan Dunia, hingga medali emas Olimpiade.
Richard juga menjadi bidan lahirnya bintang-bintang hebat macam Tri Kusharjanto, Minarti Timur, Flandy Limpele, Vita Marissa, Nova Widianto, Liliyana Natsir, Tontowi Ahmad, Debby Susanto hingga Praveen Jordan dan Melati Daeva Oktavianti.
Kabar pensiunnya Richard memang sudah berhembus lama tapi ia baru benar-benar menyatakannya tahun ini. Apa alasan dan rencana ke depannya? Simak wawancara Tim Humas PP PBSI dengan Richard Mainaky berikut ini.
*Apa alasan dibalik keputusan pensiun Anda?*
Yang menjadi dasar utama itu keluarga ya, karena jujur selama 26 tahun itu, waktu untuk keluarga sangat terbatas sekali. Jadi kalau mau cerita selama ini saya jam lima pagi sudah harus berangkat ke pelatnas, pulang jam 6 sore. Kumpul sama keluarga paling Sabtu dan Minggu. Itu akhirnya yang membuat saya berkeinginan kuat untuk pensiun dari PBSI juga karena keluarga saya ingin pulang ke Manado. Jadi saya harus mengalah.
Tapi sebenarnya dari pihak keluarga tidak banyak menuntut, hanya kami sudah membangun sebuah rumah dan restoran di Manado hasil dari melatih ini. Saya melihat istri dan anak lebih enjoy di sana. Jadi saya putuskan, saya harus pensiun dan pindah ke Manado.
*Kabar pensiun Anda sudah terdengar lama, bahkan sejak 2016 setelah Tontowi/Liliyana mendapat medali emas Olimpiade Rio de Janeiro. Apa yang membuat Anda bertahan saat itu?*
Di Olimpiade 2012 itu kan Owi/Butet (Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir) hanya sampai semifinal, lalu di Olimpiade Rio 2016 mereka bisa meraih medali emas dan mengembalikan tradisi. Di situ saya berpikir empat tahun kemudian atau Olimpiade Tokyo 2020 bisa mempertahankan medali emas tersebut.
*Flashback sedikit, bagaimana Anda memulai karier sebagai pelatih di pelatnas PBSI?*
Awalnya memang di tahun 1995 itu, saya dipanggil oleh Pak Christian (Hadinata) untuk menjadi asisten Ibu Imelda (Wigoena). Bu Imelda saat itu memegang dua sektor yaitu ganda campuran dan ganda putri. Di tahun 1997 saya dipercaya Pak Christian untuk membangun sektor ganda campuran karena saat itu sektor tersebut belum ada spesialisasinya. Baru empat sektor saja yang ada spesialisasinya, tunggal putra, tunggal putri, ganda putra, dan ganda putri.
*Bagaimana Anda bisa bertahan 26 tahun di pelatnas PBSI? Bekerja membangun ganda campuran yang dulu dipandang sebelah mata?*
Ya itu pilihan ya. Saya merasa diberikan tantangan. Saya komitmen dan tanggung jawab. Pak Christian bilang sama saya, ini saya kasih tugas kalau bisa ganda campuran nomor yang paling bawah, kamu bisa angkat tidak? Saya menyanggupi dan saya berambisi untuk itu. Jadi saya kerja keras, punya tekad, tidak pernah menyerah dan syukurnya hari ini ganda campuran bisa naik ke level atas. Kepercayaan PBSI itu menjadi motivasi buat saya agar tidak boleh menyerah.
*Sudah puaskah Anda dengan semua yang anda raih? Atau masih ada rasa penasaran? Kalau ya gelar apa?*
Saya merasa bangga, senang, puas dan cukup ya. Apa yang sudah saya persembahkan selama ini.
*Apa kesulitan terbesar melatih ganda campuran?*
Memang sulit ya karena ganda campuran kan yang main dua orang tapi yang satu putra dan satu putri. Yang putra lebih ke ego sementara putri lebih ke perasaan. Tapi saya merasa ini adalah seni yang menantang bukan beban.
*Sebagai pelatih, apa kunci sukses seorang Richard Mainaky?*
Sebagai pelatih saya beranggapan bahwa saya harus menjadi contoh buat pemain saya. Yang pertama disiplin, itu yang banar saya tanamkan. Lalu komitmen, tanggung jawab, dan kerja keras. Juga harus memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Sebagai contoh, bila kita program jam tujuh, saya sudah sampai jam enam. Itu yang saya lakukan sejak tahun 1996.
*Bagaimana metode kepelatihan Anda bisa diterima oleh seluruh pemain?*
Kembali lagi ya, itu seni menurut saya. Unik. Saya tidak mau atlet takut sama saya tapi saya mau kita saling menghargai jadi sama-sama enak. Juga saya tidak memaksakan satu hal yang sama. Misalnya Butet harus mengikuti cara Minarti, itu tidak bisa karena karakter berbeda. Jadi saya yang harus cari cara.
*Apa momen yang paling akan dirindukan dari Pelatnas PBSI?*
Bulutangkisnya ya pasti. Saya sudah cukup lama di sini, pasti akan rindu kedekatan dengan anak-anak, bercanda sama ngasih latihan berat. Drillingnya. Ha ha ha.
*Sedih tidak meninggalkan Pelatnas PBSI?*
Saya tidak sedih karena saya sudah memberikan semua yang terbaik untuk PBSI
*Apa komentar kakak dan adik Richard di keluarga Mainaky mendengar keputusan pensiun ini?*
Mereka mendukung apapun yang saya pilih. Adik-adik saya berterima kasih karena saya sudah menjadi awal jalan klan Mainaky ke Jakarta untuk bermain bulutangkis. Saya juga yang pertama berkarier menjadi pelatih. Saya berharap adik-adik saya bisa terus sukses!
*Pesan Richard untuk sektor ganda campuran?*
Kemarin saya sudah kumpul dengan anak-anak dan juga tim pelatih. Saya minta semua meneruskan apa yang sudah saya bangun. Jadi jangan sampai saya sudah tidak di sini, nanti tidak ada kerjasama yang bagus antar pelatih dan pemain. Saya tidak mau ganda campuran terpuruk lagi.
Pelatih dan pemain harus siap. Latihan tambahan apapun harus siap.
*Lalu untuk bulutangkis Indonesia, apa pesannya?*
Kita di Olimpiade 2016 hanya dapat 1 medali emas, di Olimpiade Tokyo 2020 dapat 1 medali emas dan 1 medali perunggu. Itu tanda bulutangkis kita semakin maju. Tapi jangan berhenti di sini. Yang terdekat ada Sudirman, Thomas dan Uber Cup. Mudah-mudahan pialanya ada yang bisa kita bawa ke Indonesia.