Gempita.co – Persoalan kepemilikan lahan yang dijadikan jalan oleh pemerintah kota Denpasar mendapat bantahan keras dari Siti “Ipung” Sapurah.
Kabag Humas pemerintah kota Denpasar I Dewa Rai mengatakan, dimana pembuatan jalan yang dilakukan pemerintah kota adalah berdasarkan surat penyerahan lahan dari PT BTID kepada pemerintah kota Denpasar pada tahun 2016, dan atas permohonan masyarakat.
“Kami bangun jalan tersebut berdasarkan surat penyerahan lahan dari PT.BTID kepada kami dan atas dasar tersebut kami bangun jalan Hot Mix berdasarkan berita acara penyerahan lahan tersebut,” ungkap I Dewa Rai.
Pengakuan Kabag Humas Pemkot Denpasar tersebut dibantah dengan keras oleh Siti” Ipung ” Sapurah.
Menurut Ipung, berdasarkan dokumen yang dimilikinya itu adalah tanah milik almarhum Daeng Abdul Kadir yang juga merupakan bapaknya.
KEPUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
Berdasarkan bukti-bukti yang ditunjukan serta fakta Hukum yang sudah diputuskan pengadilan negeri hingga Mahkamah Agung adalah tanah yang sudah jelas dan kepemilikan haknya dikukuhkan lewat 17 putusan pengadilan, semenjak tahun 1974 hingga tahun 2020 tanah tersebut mengalami proses hukum dan ada putusan PK ke – 2 dari MA serta inkrach yang menyatakan tanah tersebut adalah benar milik Daeng Abdul Kadir almarhum.
PT BTID menyerahkan tanah seluas 2.115 KM, yang diterima Pemerintah Kota Denpasar berdasarkan Surat Penyerahan itu, di mulai dari pintu masuk Desa Serangan dan melintasi Pura Sakenan, menuju laut yang direklamasi dan ke timur pojok patung di lapangan lalu ke utara banjar ponjok sampai ketemu penangkaran penyu, itu yang benar yaitu jalan melingkar di tepi pulau serangan .
“PT BTID menyerahkan tanah pada 2 Mei 2016 kepada Pemkot Denpasar melalui Desa Adat Serangan yang di wakili Jero Bendesa, dan sebelumnya 27 April 2016 sudah ada pembahasan,” Ungkap Ipung.
BANYAK KEJANGGALAN
Dikatakan, sebenarnya banyak kejanggalan yang terjadi, dimana SK sudah ada sejak 2014, sedangkan penyerahan tanah 2016, ini lucukan ?
“Bagaimana mungkin, belum lahir, tapi bayinya sudah ada akte kelahirannya,” ucap Ipung mengilustrasikan.
“Di Tahun 2016 penyerahan tanah PT BTID di tanggal 2 Mei 2016, untuk peruntukan jalan, namun SK sudah diterbitkan di tahun 2014 ini sangat mustahil “, lanjut Ipung menjelaskan.
Kejanggalan kedua adalah jalan yang di serahkan PT BTID di dalam SK di beri nama Tukad Punggawa I yang berasal dari laut yang direklamasi, sedangkan tanah saya bernama Jalan Tukad Punggawa dan berada di tengah pemukiman warga yang merupakan daratan yang sudah berisi bangunan dan sudah di kuasai sejak tahun 1957.
Sedangkan BTID baru masuk ke Pulau Serangan tahun 1996 dan mereklamasi laut Pulau Serangan yang luas nya ratusan hektar bagaimana ceritanya BTID memiliki tanah di lokasi ex eksekusi.
Di tahun 2009, 36 KK warga pendatang saat itu menggugat tanah tersebut dengan dasar tanah itu adalah wakaf dari Cok Korda Pemecutan, sehingga berjalan secara hukum sampai tahun 2020.
Proses tersebut semua dimenangkan oleh ahli waris dari Daeng Abdul Kadir sebagai pemilik sah tanah tersebut karena mengacu pada putusan tahun 1974 dan 1975 tanah tersebut juga pernah digugat oleh ahli warisnya Sikin (penjual), dengan dasar tanah tersebut tidak pernah dijualbelikan tetapi ada akta jual beli no 28/57 tercatat tanah tersebut sudah di perjual belikan oleh Sikin dengan Rp. 4.500.
“Sampai 17 kali dan semuanya saya menang hingga putusan PK dua kali di Mahkamah Agung tahun 2020. Menyatakan tanah tersebut milik Daeng Abdul Kadir. Serta keputusan hukum tetap (Inchrach) yang dimana tanah tersebut adalah milik almarhum Daeng Abdul Kadir. Yang dibeli pada tahun 1957,” tegas Ipung.
Dijelaskan, tanah yang dijadikan jalan tersebut adalah tanah milik bapaknya (almarhum) Daeng Abdul Kadir dan itu diperkuat dengan 17 Putusan Pengadilan Negeri.
“Pengadilan Tinggi hingga putusan PK dua kali dari Mahkamah Agung (MA) pada tahun 2020”, papar Ipung di kantornya, Rabu (27/4/2022).
Tanah yang di jadikan Jalan Pemkot Denpasar, ternyata merupakan tanah yang sempat digugat 36 KK warga pendatang serta berperkara dari tahun 2009 hingga 2020.
Sedangkan 1974 – 1975 digugat oleh ahli warisnya Sikin yang dulu menjual, ironisnya tanah yang sedang berperkara saat itu.
Tahun 2016, Pemkot membangun jalan dengan alasan permohonan warga serta berdasarkan berita acara penyerahan Tanah oleh PT BTID di tahun 2016.
Bagaimana mungkin tanah yang sedang berperkara bisa dibangun jalan seperti yang di paparkan Ipung. “Tanah itu selesai perkaranya di tahun 2020 dengan Keputusan Mahkamah Agung, bagaimana mungkin pemerintah Kota Denpasar bisa membangun jalan di atas lahan yang sedang berperkara?,” tanya Ipung.
Ipung meminta para pejabat walikota Denpasar, jujur dan berhati nurani dalam menyikapi lahan yang dijadikan jalan tersebut.
“Saya merasa pak Dewa Rai yang terhormat, jujur sebagai pejabat walikota jangan bersaksi bohong, sebab sangat mustahil bapak tidak mengetahui kalau tanah tersebut adalah milik bapak saya yang sedang di sengketakan dan pernah melakukan eksekusi sampai tiga kali, dan pada tanggal 3 Januari 2017 eksekusi ketiga berhasil saya lakukan dengan menurunkan 10 alat berat, 30 truk dan 1.127 anggota polisi sebagai pengamanan eksekusi.
“Tentu itu tidak mungkin senyap apa mungkin bapak tuli atau buta sampai bapak tidak mengetahui hal itu sedangkan sebelum pelaksanaan eksekusi ada pertemuan di kantor Lurah Serangan yang dihadiri oleh lurah dan camat yang merupakan perpanjangan tangan pemkot.
Di lokasi kan tidak mungki mereka tidak melapor ke walikota itu sangat mustahil kalau bapak- bapak pejabat walikota tidak mengetahuinya. Sebab pada saat eksekusi lahan tersebut ada aparat pemerintah yang menyaksikan jadi janganlah jadi perampok tanah masyarakat,” pesan Ipung.
Tanah yang dijadikan jalan ternyata ada tanah yang sedianya sempat di eksekusi hingga 3 kali atas dasar putusan Mahkamah Agung 2020 dalam kasus 36 KK warga pendatang menggugat tanah tersebut, namun mereka dinyatakan kalah.
Eksekusi lahan berawal dari Tahun 2014 namun saya urungkan karena warga meminta waktu 6 bulan untuk membongkar sendiri. 17 Juli 2014 eksekusi kedua namun itupun saya urungkan karena mereka mau Peninjauan Kembali ( PK) namun PK pertama ditolak.
Hingga 3 Januari 2017 saya lakukan eksekusi, setelah pk pertama mereka di tolak, dan dalam pelaksanaan eksekusi saya libatkan pihak kepolisian 1.127 personil, 10 eksavator besar, 30 truk dan pick up serta 150 org tenaga angkut. Kenapa disaat saya eksekusi lahan tersebut , kenapa pemerintah kota Denpasar diam tidak menghalangi saya kalau memang itu tanah PT BTID pasti saya di halau ? Ungkap Ipung heran.
“Bahkan dalam beberapa pertemuan, sangat jelas menyatakan bahwa lahan tersebut tidak termasuk dalam berita acara penyerahan PT BTID kepada pemerintah kota Denpasar dan itu juga di kuatkan oleh pihak Bina Marga pada pertemuan pertama 19 Maret 2022 pasca saya blokade jalan pada pertemuan yang di lakukan dikantor lurah serangan pejabat Bina Marga mengatakan tanah ini tidak termasuk dalam SK tapi permohonan warga yang di ajukan ke musrenbang. Inikan sangat jelas,” sambung advokad Peradi tersebut.
BENDAHARA ADAT DESA SERANGAN
Hal serupa juga ditambahkan oleh Bendahara adat Desa Serangan dalam pertemuan ketiga di Warung Mina Renon, dimana surat yang ditunjukkan oleh PT BTID adalah surat yang dimiliki Desa adat Serangan yaitu surat kepemilikan yang sudah disahkan kepemilikannya atas nama Daeng Abdul Kadir dengan putusan akhir yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung tahun 2020.
Dokumen tersebut berasal Siti “Ipung” Sapurah. Berdasarkan putusan Mahkamah Agung Tahun 2020.
Ipung menduga permohonan masyarakat tersebut, dijadikan bahan untuk penyelewengan anggaran pemerintah musrenbang dengan membuat jalan aspal Mix untuk mengeruk anggaran negara.
Proyek pembuatan jalan itu saya menduga adanya penyelewengan anggaran negara lewat MURENBANG, sebab yang dibangun jalan adalah tanah milik perorangan dalam hal ini almarhum Daeng Abdul Kadir yang juga merupakan bapak saya,” sahut pengacara yang dikenal garang ( Siti Sapurah) kalau mengikuti berita acara penyerahan lahan yang dijadikan jalan tersebut, tidak termasuk tanah bapak saya.
“Dimana jalan yang harusnya dibangun adalah tanah yang direklamasi atau di pesisir pantai Pulau Serangan, sedangkan tanah bapak saya ada di tengah perkampungan. Bagaimana bisa lompat ketengah perkampungan,” jelas Ipung dengan tegas.***