Gempita.co – Taliban secara de facto telah mengajukan rancangan undang-undang media Afghanistan yang baru untuk disetujui oleh pemimpin tertinggi mereka.
Rancangan tersebut, yang hingga saat ini masih bersifat sangat rahasia, akan mengatur hubungan kepemimpinan Islamis yang penuh konflik dengan para wartawan dan badan-badan media pemerintah dan swasta.
Tanpa adanya parlemen atau sebuah konstitusi pada Emirat Islam yang dideklarasikan sendiri oleh Taliban, maka hanya pemimpin tertinggi mereka, Hibatullah Akhundzada, yang memiliki kekuasaan tak terkendali atas nasib hukum di negara itu, termasuk undang-undang media baru.
Dikutip VOA, juru bicara utama Taliban, Zabihullah Mujahid, mengungkapkan beberapa rincian dari undang-undang baru tersebut.
“Sekitar 70 persennya, RUU media itu diambil dari undang-undang yang lama,” kata Mujahid, seraya menambahkan bahwa perubahan itu untuk menyelaraskan undang-undang tersebut dengan hukum syariah Islam. Undang-undang media yang diberlakukan di bawah pemerintahan Afghanistan sebelumnya juga mengharuskan semua kegiatan media harus sesuai dengan hukum Islam.
Ketika ditanya tentang adanya pembatasan berbasis gender dalam undang-undang yang baru, juru bicara Taliban itu menyangkal adanya pembatasan seperti itu pada RUU baru tersebut, dan bahwa “semua warga negara Afghanistan” akan dapat mendirikan, mengelola, dan bekerja untuk entitas media.
Media asing, termasuk lembaga penyiaran internasional seperti BBC dan Voice of America serta jurnalis lepas, akan diizinkan untuk beroperasi di Afghanistan asalkan mereka mematuhi aturan hukum negara itu.
Di tengah upaya Afghanistan untuk mengembangkan institusi-institusi demokratis selama dua dekade terakhir, media dan kelompok-kelompok advokasi pers tumbuh subur dengan pendanaan dan dukungan dari donor internasional.
Namun, Taliban telah menunjukkan kecurigaan yang mendalam terhadap program-program yang didanai oleh pihak Barat untuk mendukung demokrasi dan hak asasi manusia, dan Mujahid tidak menjelaskan apakah media Afghanistan akan diizinkan untuk menerima dana dari luar negeri.
“Hukum mensyaratkan bahwa sumber pendanaan harus transparan,” katanya dengan tegas.
Sumber: voa