Anggota DPR Tolak Vaksin COVID-19 Berbayar

Gempita.co, Jakarta – Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI, Mulyanto menolak rencana pemerintah menyediakan vaksin berbayar. Menurutnya, dalam kondisi darurat seperti saat ini, pemerintah seharusnya tidak membebani masyarakat.

Menurut Mulyanto, alasan pemerintah membuat kebijakan vaksinasi berbayar sangat tidak rasional. Dia menilai, jika ingin mempercepat herd immunity, pemerintah harusnya memperbanyak titik layanan vaksinasi gratis di puskesmas, klinik, kantor-kantor kelurahan, kantor RW dan posyandu.

Bacaan Lainnya
Gempita Bali Transport

“Bukan dengan mudahnya membuka layanan vaksin komersial bagi sebagian masyarakat. Karena secara prinsip, vaksinasi adalah tanggung-jawab pemerintah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Pemerintah tidak boleh lepas dari tanggung-jawab tersebut. Jangan sampai masyarakat yang tidak mampu terpaksa harus membeli vaksin mandiri ini,” ujar Mulyanto dalam keterangan tertulisnya, Senin (12/6/2021).

Selain itu, Mulyanto menyinggung kebijakan pemerintah terkait bantuan sosial (Bansos). Dia mengatakan, dana bansos yang hanya Rp 300 ribu per bulan setiap keluarga, tidak sebanding dengan harga Vaksin Sinopharm yang lebih dari Rp 300 ribu per dosis.

Mulyanto pun khawatir apabila setelah program vaksin berbayar ini dilaksanakan, kuota vaksin gratis perlahan-lahan akan berkurang, bukannya justru ditingkatkab. Padahal, kata dia, target sebaran vaksinasi sudah ditetapkan dan anggarannya sudah disiapkan.

Anggota Komisi VI DPR RI itu menambahkan, kebijakan vaksinasi berbayar rentan dimanipulasi pihak yang mencari keuntungan, dengan mengalihkan vaksin gratis menjadi vaksin berbayar. Akibatnya, vaksin gratis menjadi langka.

“Karena itu daripada pemerintah repot memikirkan sistem pengawasan distribusi vaksin gratis secara ketat, lebih baik kebijakan dualisme vaksin ini dibatalkan,” ucap Mulyanto.

“Walaupun jenis vaksin antara program mandatori dan program mandiri berbeda, namun dalam prakteknya masyarakat tidak bisa melihat dan membedakan kedua jenis vaksin tersebut,” jelasnya.

Lebih lanjut, Mulyanto mengungkapkan bahwa modus tersebut sangat mungkin terjadi. Dia pun membeberkan beberapa kasus yang kerap terjadi untuk komoditas lain, khususnya barang subsidi seperti gas melon tiga kilogram, pupuk subsidi, atau solar, di mana komoditas subsidi dialihkan menjadi komoditas komersial.

“Ujung-ujungnya, karena vaksin gratis menjadi langka, maka rakyat terpaksa mengikuti vaksin berbayar. Ini kan bahaya. Akan merugikan rakyat,” tegas Mulyanto.

Pos terkait

Iklan Layanan Masyarakat Kemenkumham Bali