Begini Kata Pengamat Soal Ancaman Pilkada Serentak 2020

270 daerah akan menggelar Pilkada serentak pada 23 September 2020 nanti. Gelaran pesta demokrasi itu dipastikan sejumlah pengamat masih dipenuhi ancaman seperti, politik identitas, SARA, ujaran kebencian, dan berita hoaks.

Jakarta, Gempita.coPilkada serentak pada Septembr 2020 mendatang meliputi sembilan pemlihan gubernur, 224 pemilihan bupati, dan 37 pemilihan walikota.

Bacaan Lainnya
Gempita Bali Transport

Adapun sembilan provinsi yang akan melaksanakan pemilihan gubernur meliputi Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Kepulauan Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah.

Jelang Pilkada serentak 2020, sejumlah pengamat dan praktisi survei memprediksi beberapa ancaman yang akan mengganggu jalannya pesta demokrasi itu.

Ancaman terbesar pada Pilkada serentak 2020 nanti yaitu mencakup politik identitas, SARA, ujaran kebencian, dan berita hoaks.

“Sepertinya politik identitas, SARA dan hoaks masih marak pada Pilkada. Dan ini harus kita perangi bersama,” ujar Ketua DPP Partai NasDem Irma Suryani Chaniago dalam diskusi The Jakarta Institute bertajuk `Mewaspadai Hoak dan SARA menjelang Pilkada Serentak 2020′ di Hotel Sofyan, Jakarta, Selasa (18/2/2020).

Irma berpendapat, politik identitas, hoaks dan SARA masih laku di masyarakat karena fenomena sosial sendiri menunjukan banyak masyarakat yang beragama tanpa ilmu.

“Kenapa SARA menjadi sangat laku, politik identitas sangat laku, kerena rakyat masih banyak yang bergama tapi tidak berilmu. Sehingga radikalisme dalam artian negatif menjadi marak,” jelasnya.

Ia pun menyebut bahwa radikal itu tak hanya Islam, tapi juga semua agama bisa radikal. Misalnya di India dan Pakistan.

“Jadi hampir semua agama punya potensi radikalis, menggunakan pemikiran radikal,” tegasnya.

Irma yang juga dikenal sebagai aktivis buruh menjelaskan, isu SARA dan politik identitas sudah marak sejak Pilkada DKI 2017, dan sejak saat itu sudah terasa betapa kuatnya pengaruh politik identitas yang dikembangkan dengan menggunakan hoaks.

“Dengan suksesnya politik identitas di DKI, maka yang terhadi selanjutnya pilkada-pilkada dan pemilu diwarnai seperti itu terus,” imbuhnya.

Padahal, jelas Irma, ekses negatif politik identitas sangat berbahaya, menimbulkan konflik horizontal, membenturkan ormas dengan ormas dan agama dengan agama.

“Kita tentu tak ingin Indonesia ini menjadi ajang pertempuran. Ini berbahaya kalau diteruskan,” katanya.

Irma pun meminta agar politik identitas ini dilawan secara bersama-sama.

“Caranya dengan sosialisasi politik bersih di masyarakat, kemudian membenahi regulasi dari KPU, Bawaslu, dan kepolisian. Semua harus bersama-sama melawan politik identitas,” jelas Irma.

Pada diskusi itu, Asep Saepuddin dari Indo Barometer mengatakan, politik identitas menjadi salah satu cara bagi para calon dan tim pemenangan untuk menggaet simpati publik.

Ia pun menyebut potensi gesekan di Pilkada 2020 sangat besar, karena ada 270 Pilkada, meliputi sembilan Pilgub, 224 Pilbup, dan 37 Pilwalikota.

“Karena dipilih langsung masyarakat, maka mengharuskan para calon dan timses sususn strategi pemenangan. Maka isu negatif dan SARA jadi satu pilihan bagi mereka,” kata Asep.

Ia juga menilai fenomena sosial media menyuburkan politik identitas ini untuk dikembangkan. Sebab hampir semua masyarakat saat ini sudah punya facebook, instagram, twitter, serta WhatsApp.

Kata Asep, fenomena medsos ini tidak dibarengi dengan pendidikan politik dan tingkat pengetahuan masyarakat di Indinesia.

Kalau dipelajari prilaku masyarakat pemilih, Asep menjelaakan, dari sisi geografis mayoritas masih di pedesaan. Kesadaran meningkatkan ilmu dan pendidikan tergolong rendah, dan berdasarkan data BPS, 64 persen pendidikan mereka adalah memengah ke bawah.

“Ini semua sangat berkaitan dengan prilaku masyarakat dalam merespon pemberitaan hoaks dan SARA,” jelasnya.

Dengan fakta ini, Asep menilai pekerjaan terbesar yang harus dilakukan jika ingin Pilkada berjalan baik adalah bagaimana mendidik masyarakat agar mampu melawan hoak.

“Perlu membangun karakter pemilih yang cerdas. Kemudian harus ada pengawasan terhadap media sosial. Masyarakat semua punya facebook, WA, instagram. Ini harus dimanfaatkan dengan positif,” tegas Asep.

Pos terkait

Iklan Layanan Masyarakat Kemenkumham Bali