Jakarta, Gempita.co – Salah seorang tersangka jaringan teroris Jamaah Islamiyah yang ditangkap Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) di Lampung merupakan yang pertama berstatus sebagai guru Pegawai Negeri Sipil, PNS.
Pihak sekolah mengaku terkejut, karena guru berinisial DRS dikenal bersahabat di lingkungan sekolah.
BNPT mencatat DRS, 46 tahun, merupakan guru berstatus PNS pertama yang diduga terlibat dalam jaringan terorisme.
Sebelumnya, DRS ditangkap Densus 88 antiteror bersama dua tersangka lainnya yaitu SU, 61 tahun dan S, 59 tahun. Mereka diduga terlibat dalam pendanaan dan perekrutan anggota baru Jamaah Islamiyah.
DRS disebut kepolisian sebagai kepala sekolah di salah satu SDN di Pasewaran. Ia juga tercatat sebagai guru di SMAN 1 Bangunrejo.
Direktur Pencegahan BNPT, Ahmad Nurwakhid mengatakan, lembaganya akan melakukan pendampingan ke sekolah tempat DRS mengajar.
Bagi mereka yang sudah terpapar, kita lakukan rehabilitasi ideologi, re-edukasi, kemudian kita lakukan pembinaan-pembinaan dan tentu saja kita bekerja sama dengan kementerian lembaga terkait,” kata Nurwakhid seperti yang dikutip kepada BBC News Indonesia.
Dalam satu dekade terakhir, BNPT melaporkan setidaknya terdapat 31 PNS ditangkap karena terlibat jaringan terorisme. Mereka masing-masing 8 mantan anggota kepolisian, 5 mantan anggota TNI dan 18 mantan PNS di lingkungan kementerian dan lembaga pemerintah.
Namun, tak satu pun yang berstatus sebagai guru.
DRS saat ini tercatat sebagai guru aktif di SMAN 1 Bangunrejo, Lampung. Berdasarkan keterangan sekolah, DRS sudah mengajar sejak 2005.
Pihak sekolah mengaku terkejut dengan penangkapan DRS, karena selama ini pria itu dikenal humoris dan mudah bergaul.
“Supel, suka bercanda. Jadi dekat dengan kita semua. Bukan hanya dengan saya, dengan semua guru, dekat. Karena suka bercanda, nggak ada yang fanatik gitu,” kata Humas SMAN 1 Bangunrejo, Budi Rahardjo saat ditemui wartawan Robertus Bejo yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Budi juga mengatakan, DRS tak pernah menunjukkan gelagat mengajarkan paham radikal, misalnya menolak upacara bendera. “Nggak pernah,” tambah Budi.
Seorang siswa yang ditemui pun mengaku selama belajar Bahasa Indonesia dengan DRS, tak pernah terdapat ajaran radikal yang disampaikan. “Nge-share materi kayak guru-guru yang lain. Terus dikasih soal-soal Bahasa Indonesia nanti kita kerjain,” katanya.
Pengamat terorisme dari Universitas Indonesia, Muhammad Syauqillah menilai lembaga pendidikan menjadi salah satu titik temu kelompok-kelompok teroris untuk membentuk radikalisme, dan perekrutan anggota baru.
Paham yang dibentuk di antaranya menolak Pancasila, pro khilafah, dan intoleran terhadap keberagaman.
Namun, berbeda dengan kelompok teroris dan radikal lainnya, JI ia sebut lihai bersembunyi. Ia juga menyebut guru ASN yang diduga anggota JI kemungkinan fenomena gunung es, sehingga perlu diwaspadai.
“Usulan kepada negara, aparat keamanan kita, memang perlu setidaknya memberikan wacana kepada publik, pola gerakan JI itu seperti apa sih, sehingga masyarakat ketika menemukan setidaknya simtom-simtom karakteristik yang mereka temui di masyarakat,” kata Syauqillah.
Sumber: BBC News