Jakarta, Gempita.co – Sebagai negara kepulauan terbesar dengan luas wilayah laut 5,8 juta km2, Indonesia memiliki potensi pengembangan ekonomi maritim yang sangat menjanjikan. Laut teritorial, zona ekonomi eksklusif (ZEE), perairan laut dalam, hingga laut lepas (high seas) merupakan lumbung sumber daya kelautan dan perikanan terbarukan yang dapat dimanfaatkan negara. Untuk dapat mengelola potensi ini, dibutuhkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas yang telah dibekali kompetensi memadai oleh lembaga pelatihan terakreditasi.
Nelayan dan pelaut perikanan misalnya. Sebagai tenaga utama penggerak sektor ini, keduanya harus dapat melakukan pengelolaan dengan inovatif tanpa meninggalkan aspek keberlanjutan. Mereka harus menguasai keterampilan dan kompetensi yang didapatkan dari lembaga-lembaga pelatihan terpercaya yang dibuktikan dengan akreditasi.
Kepala Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM), Sjarief Widjaja mengatakan, akreditasi ini dibutuhkan untuk memastikan para nelayan dan pelaut perikanan menguasai dua kompetensi utama. Pertama, memiliki kapasitas dalam mengoperasikan kapal untuk menjamin keselamatan mulai saat berangkat hingga kembali ke daratan. Kedua, memiliki kapasitas untuk menangkap ikan dengan keterampilan dan pengetahuan lokasi-lokasi ikan, cara menangkap ikan yang benar, penggunaan alat tangkap ramah lingkungan (purse seine, longline, bouke ami, gillnet, dan lain-lain), dan sebagainya.
Hal ini diungkapkan Sjarief pada acara Sosialisasi Komite Pengesahan Program Diklat dan Keterampilan Khusus Pelaut Kapal Penangkap Ikan pada Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Pelaut Kapal Penangkap Ikan sekaligus Peluncuran 7 Peraturan Kepala Badan tentang Quality Standar Sistem (QSS)/Standar Mutu Penyelenggaraan Diklat Pelaut Kapal Penangkap Ikan di Tegal, Rabu (16/12).
“Untuk mengelola sumber daya kelautan kita harus memastikan bahwa sumber daya yang kita miliki itu cukup ditunjang dengan kapasitas yang cukup mulai dari sarana prasarana penangkapan ikan, kapal ikan, jaringnya, alat tangkapnya, permesinannya, semuanya tersedia dengan baik. Para nelayan kita, anak buah kapal, kapten kapal juga memiliki kapasitas yang cukup” ujar Sjarief.
Keanggotaan Indonesia dalam International Maritime Organization (IMO) membuat tenaga kerja yang akan mengoperasikan kapal di laut harus mengikuti standar sertifikasi The International Convention on Standards of Training, Certification and Watchkeeping for Fishing Vessel Personnel, 1995 (STCW-F 1995). Indonesia sendiri telah meratifikasi STCW-F ini melalui Perpres Nomor 18 tahun 2019.
“Lembaga pelatihan harus ditingkatkan kapasitasnya mulai dari akreditasi untuk memetakan lembaga pelatihan mana yang sudah punya kompetensi cukup, mana yang belum, dan mana yang membutuhkan pembinaan,” ucapnya.
Selain sertifikasi, hal yang tak kalah penting untuk meningkatkan kinerja lembaga pelatihan adalah melalui penyelenggaraan training of trainer (ToT). Kemudian memastikan program pelatihan diselenggarakan dengan baik dan dengan harga sangat terjangkau oleh masyarakat.
“Oleh karena itu, perlu dibentuk suatu tim komite approval nasional untuk memastikan bahwa semua lembaga pelatihan yang dikelola oleh pemerintah daerah maupun swasta memiliki standar yang sama,” lanjutnya.
Hal ini dapat dilakukan melakukan penetapan grading (kelas) lembaga pelatihan dan penyusunan metodologi dan konten pelatihan per bidang usaha. “Mekanisme itu harus disusun pemerintah sebagai bagian dari upaya kita memberikan layanan kepada stakeholder kita,” ungkapnya.
Sehubungan dengan ini, Sjarief mendorong Pusat Pelatihan dan Penyuluhan Kelautan dan Perikanan (Puslatluh KP) segera membentuk komite nasional untuk melakukan quality assurance terhadap setiap officer atau setiap pejabat yang melakukan akreditasi kepada lembaga-lembaga pelatihan seluruh Indonesia. Kemudian membentuk pool of expert yang berisi para akreditor dengan integritas, pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan untuk men-deliver informasi atau pengetahuan tentang sertifikasi maupun bimbingan kepada lembaga pelatihan dari komite nasional yang ada. Ketiga, membentuk atau menghimpun lembaga-lembaga pelatihan.
Senada dengan Sjarief, Kepala Puslatluh KP, Lilly Aprilya Pregiwati menyetujui urgensi pembentukan Komite Pengesahan ini. Komite ini bertugas melakukan verifikasi dan mengaudit serta memastikan program diklat suatu lembaga diklat telah menerapkan sistem standar mutu (QSS) dan sistem manajemen mutu (QMS) yang mencakup 8 (delapan) aspek standar penyelenggaran diklat sesuai konvensi STCW-F 1995, dalam mencetak para pelaut yang kompeten.
“Keberadaan lembaga diklat yang sesuai standar sangat dibutuhkan oleh para pelaut kapal penangkap ikan, mengingat pelaut tersebut akan bekerja dan terjun ke kapal penangkap ikan yang syarat dengan karakteristik 3 d (dirty, dificult and dangerous), sehingga akan sangat beresiko apabila keberadaan lembaga diklat tidak terpantau dan terverifikasi dengan baik,” jelasnya.
Hal ini untuk mencegah permasalahan-permasalhan ABK Kapal Ikan khususnya ABK yang bekerja di kapal ikan asing, seperti penggajian yang tidak layak, pemulangan ABK, perbudakan di atas kapal, bahkan pelarungan jasad ABK di atas kapal. “Faktor permasalahan sepert ini bisa jadi dikarenakan banyaknya lembaga diklat yang tidak resmi dan tidak kredibel sehingga banyak ditemukan ABK yang unskill dan uncompeten,” lanjut Lilly.
Pembentukan Komite Pengesahan ini juga sebagai bukti kepada dunia internasional bahwa proses penyelenggaraan diklat, ujian, dan sertifikasi pelaut kapal penangkap ikan di Indonesia telah sesuai dengan konvensi STCW-F 1995. Pemerintah Indonesia bisa lebih siap dalam menghadapi inspeksi terhadap tempat pelatihan oleh pihak lain secara reguler sesuai konvensi STCW-F 1995, terutama dalam menyiapkan Audit Sistem Mutu dan Standar Mutu Penyelenggaraan oleh IMO 5 tahun mendatang terhitung sejak pemerintah Indonesia melakukan entry into force (21 Februari 2020).
Saat ini telah ada permintaan pengakuan/Mutual Recognation Agreement (MRA) STCW-F 1995 oleh Pemerintah Kerajaan Spanyol terhadap pemegang sertifikat Pelaut Kapal Penangkap Ikan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia sebagaimana Nota Verbal No 36 tahun 2020.
Lembaga Pendidikan Sambut Antusias
Margo Santoso, perwakilan SMK Pelayaran Muhammadiyah Tuban menyambut baik kegiatan sosialisasi komite pengesahan ini. “Ini (pembentukan komite pengesahan-red) bagi kami lembaga-lembaga sekolah yang ada di seluruh Indonesia kedudukannya sangat menguntungkan karena ini dengan adanya ratifikasi ini nanti siswa-siswa kita yang akan bekerja di kapal di luar yang memiliki sertifikat Ankapin maupun Atkapin 1 ataupun 2 itu akan diakui oleh skala internasional,” ucapnya.
Namun, ia menyebut sekolah-sekolah perlu dibimbing untuk memenuhi standarisasi sesuai yang dipersyaratkan IMO di dalam STCW-F 1995.
Senada, Ruswanto perwakilan SMK Negeri 1 Puring, Kabupaten Kebumen juga menyampaikan apresiasi atas pembentukan komite pengesahan ini. Ia meyakini, penetapan ini akan berdampak terhadap peningkatan kualitas peserta didik mereka. “Dengan adanya keselarasan kompetensi yang dibutuhkan di STCW-F dengan KIKD (red-Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar) yang dikeluarkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, semoga jurusan nautika kapal niaga dan teknika kapal penangkap ikan akan menjadi jurusan pilihan bagi masyarakat,” bebernya.
Tak jauh berbeda, Yeti Sumiyati, Kepala SMK Negeri 1 Mundu, Kabupaten Cirebon mengharapkan dengan adanya sosialisasi ini, lembaga pendidikan setingkat SMK dapat mengetahui standar baku tentang kualitas standar dari Badan Diklat yang ada di setiap lembaga diklat atau lembaga sekolah yang memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan diklat pelaut perikanan. “Ini penting untuk meningkatkan kualitas lulusan kami,” tutupnya.
Sumber: Humas BRSDMKP