Bandung, Gempita.co – Indonesia telah menemukan sebuah alat pendeteksi elektronik untuk mengawasi individu positif Covid-19 yang tengah menjalani karantina.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada pertengahan November lalu meluncurkan Si-Monic (Smart Innovated Monitoring for COVID-19) guna memudahkan pengawasan suspect.
Ketua Periset Si-Monic Galih Nugraha Nurkahfi mengatakan bahwa perangkat ini terhubung dengan sistem teknologi informasi dalam mengawasi para pasien positif yang sedang dalam perawatan.
“Ke mana pun pergi pakai gelang ini, posisinya diketahui,” kata Galih dalam postingan Instagram Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi LIPI, setelah dikonfirmasi Anadolu Agency, Minggu.
Perangkat yang mirip arloji ini bekerja setelah terkoneksi via Bluetooth dengan ponsel pintar seseorang yang positif Covid-19 atau individu yang mau diawasi.
Aplikasi Si-Monic yang tersedia dan bisa diunduh di Play Store bakal mencatat pergerakan pemakainya.
“Penggunanya harus download aplikasi juga,” ujar Mochamad Mardi Marta Dinata, salah satu peneliti dari kelompok keahlian elektronika dan pengolahan sinyal.
Peneliti memasang chip Bluetooth Low Energy yang memiliki identitas khusus dan terkoneksi via internet ke peladen.
Pengawas dari dinas kesehatan bakal mendapatkan informasi pergerakan dan status terbaru dari pengguna Si-Monic.
Menurut Mardi, catatan pergerakan itu hanya bisa diakses oleh pengawas.
“Jika keluar dari rumah akan ketahuan. Kalau terpisah dengan handphone hingga 20 meter bakal ada notifikasi di aplikasi pengawas,” kata Mardi.
Pengawas juga bakal mendapatkan informasi apabila pemakai menonaktifkan atau melepas paksa Si-Monic dari pergelangan tangannya.
“Alat ini sekali pakai. Kalau dilepaskan langsung putus kabel dan rusak alatnya,” terang Budi Prawara, Kepala Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi (P2ET) LIPI.
Apabila pemakai bisa melepas dan memasang kembali alat itu, maka pengawasan tidak efektif.
“Bisa saja pemakainya simpan alat dan handphonedi rumah sementara dia keluar dan jalan-jalan,” imbuh Budi soal konsep sekali pakai pada Si-Monic.
Sekilas Si-Monic mirip dengan alat pemantau orang yang berurusan dengan hukum atau narapidana yang dapat pembebasan bersyarat seperti di film-film.
Alat itu bakal berbunyi apabila narapidana itu melanggar batas pergerakannya atau keluar batas kota.
Polisi lantas bisa menghampiri dan mengecek keberadaan orang tersebut.
“Kami lengkapi Si-Monic dengan baterai litium yang kuat hingga minimal 14 hari seperti durasi karantina suspect Covid-19,” tambah Budi.
Pengembangan perangkat hingga dashboard Si-Monic ini berlangsung sejak akhir Maret 2020 lalu memanfaatkan dana penelitian dari Konsorsium Riset dan Inovasi Covid-19 Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset Inovasi Nasional.
Budi menjelaskan, penelitian itu melibatkan 15 peneliti dari P2ET, Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronik, Pusat Penelitian Informatika, serta Balai Pengembangan Instrumentasi LIPI.
Hingga saat ini sudah ada 23 unit purwarupa Si-Monic yang diproduksi memanfaatkan 3D Printer.
Perangkat Si-Monic ini, ungkap Budi, sudah lolos uji laboratorium dan uji fungsional.
“Secara kelistrikan sudah aman. Soal pemantauan, alat dan sistemnya bekerja ketika dipakai selama dua pekan oleh karyawan LIPI,” kata Budi soal uji fungsional yang berlangsung awal September 2020 lalu.
Budi menerangkan, pihaknya bekerja sama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Jawa Barat guna mempercepat upaya difusi produk-produk riset LIPI di Jawa Barat.
Khusus untuk produk Si-Monic sudah ada dua industri yang siap mengembangkannya.
Budi berharap penelitian ini bisa dimanfaatkan pemerintah dan Satuan Tugas Covid-19 untuk mengatasi penyebarannya.
“Si Monic bukan alat kesehatan jadi saya kira produksi dan perizinannya tidak serumit seperti produksi ventilator atau rapid test,” ungkap Budi.
Epidemiolog dari Griffith University, Australia, Dicky Budiman menyatakan perangkat Si-Monic itu harusnya sudah ada sejak bulan-bulan awal pandemi Covid-19 di Indonesia.
“Tidak ada kata terlambat karena ada masa rawan dari sekarang sampai tahun depan nanti,” kata Dicky.
Perangkat itu, sambungnya, penting untuk membantu petugas kesehatan mengawasi penderita dalam konteks tracing kasus Covid-19.
Dicky menilai kapasitas tracing di Indonesia saat ini belum memadai karena tidak ada yang bisa memastikan seorang suspect itu patuh menjalankan karantina mandiri atau tidak.
“Yang penting diperhatikan adalah kaitan dengan privasi pemakainya tapi ini di luar kapasitas keilmuan saya,” ujar Dicky.
Peneliti kesehatan masyarakat ini memandang Si Monic bisa dikembangkan untuk keperluan lain di luar Covid-19.
“Misalnya untuk mengawasi anak berkebutuhan khusus atau orang dengan Alzheimer yang mungkin saja disorientasi di luar rumah,” kata Dicky.
Keberhasilan pemanfaatan dan pengembangan Si-Monic atau penelitian lainnya tidak boleh melupakan riset dan komunikasi dengan dokter atau praktisi ilmu kesehatan masyarakat.
“Termasuk ahli penyakit menular yang memahami potensi inovasi ke depannya,” sambung Dicky.
“Jika pengembangannya berbasis data maka itu bisa jadi modal untuk perbaikan sebelum pengembangan lebih lanjut,” tambah Dicky.
Pelibatan atau diskusi dengan sumber daya manusia yang paham epidemiologi atau penyakit menular penting dilakukan agar pengembangan itu selalu berdasar pada riset,
Budi berharap Si-Monic ini bisa diterima dan digunakan pemerintah dalam mengatasi penyebaran Covid-19.
“Kalau sampai produksi massal tentunya harga lebih murah dari prototipe. Harapan kami tidak lebih mahal dari batasan biaya rapid test yang diterbitkan pemerintah,” kata Budi.
Sumber: Berbagai Sumber