Bapak Presiden yang terhormat ini ada rakyat Anda yang miskin di Pontianak-Kalbar, memohon keadilan untuk putrinya yang berusia 14 tahun .
Cc :Bapak Kapolri
SURAT TERBUKA
Kepada
Yth. Bapak Presiden Republik Indonesia
Ir. H. Joko Widodo
di
Jakarta.-
Selamat pagi, salam hormat dan salam sejahtera semoga Bapak Presiden selalu sehat dan panjang umur.
Bapak Presiden yang saya hormati,
Perkenalkan nama saya Liem, umur 43 tahun seorang ibu rumah tangga yang bersyukur masih bisa tamat SD, tinggal di pemukiman kumuh dan padat kawasan Pontianak Utara, Kota Pontianak, Kalimantan Barat.
Sebelumnya saya mohon maaf dan mohon izin karena telah lancang menulis surat terbuka ini untuk Bapak Presiden, walau sebenarnya saya tidak begitu yakin bahwa surat ini bisa sampai pada Bapak apalagi bisa membacanya, namun setidaknya dengan menulis surat ini beban di hati saya selama ini tidak lagi menghimpit dada saya yang kerap membuat sesak dan mengganggu aktivitas saya.
Bapak Presiden yg saya muliakan,
Hari ini sudah lebih delapan bulan saya berjuang mencari keadilan untuk putri saya satu-satunya Mic 14 tahun sejak dilaporkan ke Polresta Pontianak 10 Oktober 2022 lalu. Perjalanan panjang untuk sebuah perkara yang menguras emosi dan menodai harkat dan martabat kami sebagai manusia.
Sebagai seorang ibu, saya merasa tidak lagi memiliki harapan untuk mendapatkan keadilan di negeri tercinta ini, setelah saya mengikuti persidangan atas perkara anak saya di Pengadilan Negeri Pontianak pada hari Selasa, 16 Mei 2023 Minggu lalu. Saat itu ketua majelis hakim memerintahkan Jaksa Penuntut Umum untuk membacakan hasil visum et repertum anak saya, namun dijawab oleh Jaksa bahwa hasil visum tidak dilampirkan dalam berkas perkara anak saya. Seketika dunia terasa runtuh dan gelap gulita, dada saya sesak. Tadinya saya begitu banyak berharap dengan Jaksa yang notabene seorang perempuan dan seorang ibu pula bisa mengerti dan bersimpati dengan apa yang dialami anak saya. Tapi ternyata Jaksa yang harusnya membela kepentingan hukum anak saya tak lebih dari pohon pisang, punya jantung dan tak punya hati. Seolah ingin menghilangkan bukti perbuatan bejat pelaku tanpa sedikitpun memikirkan keadaan anak saya yang belasan kali harus bolak balik ke psikolog sekedar untuk mengobati luka bathinnya, apalagi memikirkan perasaan saya sebagai seorang ibu yang setiap hari menangisi keadaan anak saya.
Bpk Presiden yang terhormat,
Ketika pertama melapor di Kepolisian, hati saya sudah terluka parah. Bagaimana mungkin seorang Polwan di Unit PPA yang harusnya memberikan perlindungan kepada anak saya ternyata bersikap sangat tidak humanis dan profesional. Anak saya diperiksa dan di-BAP di ruang tertutup tanpa diizinkan saya dampingi, dan BAP-nya pun tidak boleh saya baca dan anak saya disuruh tanda tangan sendiri padahal saat itu anak saya masih berumur 13 tahun. Anak saya sangat ketakutan karena seumur hidup belum pernah menginjakkan kaki di kantor polisi. Anak saya pulang sangat tertekan dan tidak mau makan.
Belum pulih dari situasi itu, beberapa hari kemudian anak saya dibawa ke TKP, dan anak saya dipaksa dan ditekan-tekan untuk menjawab pertanyaan yang sebenarnya tidak ada kaitannya dengan objek perkara, hingga membuat anak saya stres dan menangis di TKP. Sejak itu anak saya tidak lagi mau bicara, lebih banyak diam dan lebih sering mengurung diri. Tetapi saya tidak bisa berbuat apa-apa karena saat itu saya berpikir mungkin begitulah cara yang harus ditempuh untuk mendapatkan keadilan.
Bapak Presiden yang saya muliakan,
Kami memang bukan orang kaya, tapi kami masih bersyukur bisa cukup makan, bisa sekolahkan anak agar tidak hanya tamat SD seperti saya, dan tidak hanya kerja kuli seperti suami saya. Dan kami juga tidak harus mengemis bansos agar bisa terus hidup. Tetapi kami manusia yang mempunyai perasaan, kami juga mengerti kewajiban kami sebagai warga negara yang tunduk dan patuh terhadap semua aturan hukum yang ada. Kami hanya berharap mendapatkan keadilan atas apa yang menimpa anak saya. Dan ternyata keadilan itu sangat sulit dijangkau oleh orang miskin seperti kami.
Bahkan ketika akhir tahun lalu saya melaporkan perilaku penyidik Polwan yang menangani perkara anak saya yang jalannya terseok-seok ke Propam Polda Kalbar, baru tanggal 22 Mei 2023 saya mendapat surat jawaban dari Propam Polda Kalbar yang menyatakan bahwa Polwan tersebut tidak terbukti melakukan pelanggaran pdhal sangat jelas telah melanggar UU No. 11 Tahun 2012 pasal 23 (2) yang mewajibkan anak korban dan saksi didampingi orangtua dalam setiap tingkatan pemeriksaan.
Jadi apa yang menjadi jargon Propam “benteng terakhir pencari keadilan” membuat saya semakin ragu bisa mendapatkan keadilan setelah sebelumnya anggota Paminal memeriksa saya seperti pelaku kejahatan. Saya diperiksa lebih dari enam jam, diintimidasi, seolah saya sengaja mau membuat fitnah pada anggota polisi.
Kami ini orang miskin Bpk Presiden.
Tak sedikitpun punya niat untuk memfitnah siapapun apalagi anggota polisi. Saya hanya memperjuangkan keadilan untuk anak saya. Dan sekarang saya baru menyadari bahwa Polwan yang memeriksa dan mem-BAP anak saya saat itu, mungkin adalah perempuan siluman yang menyamar menjadi anggota Polisi di Unit PPA….
Bapak Presiden yang kami cintai,
Kemanakah lagi saya harus mencari keadilan jika polisi sedari awal sudah mengkondisikan perkara anak saya untuk jauh dari keadilan dengan tidak melampirkan hasil Visum Et Repertum di berkas perkara.
Sejujurnya hati ini sangat terluka, yang minta visum adalah polisi, yang antar visum juga polisi, di Rumah Sakit polisi, yang periksa dokter polisi, yang ambil hasilnya juga polisi. Yang memberitahu saya ada luka baru di kemaluan anak saya juga Polwan yang memeriksa anak saya. Apakah mungkin Polwan yang saya hadapi juga perempuan jadi-jadian yang menyamar jadi polisi..? Hanya Tuhanlah yang Maha Mengetahui.
Lalu sekarang Jaksa yang seharusnya mewakili negara untuk melindungi dan membela kepentingan hukum anak saya justru sengaja menghilangkan bukti visum di berjas perkara anak saya demi membebaskan pelaku yang telah menghancurkan masa depan anak saya. Sungguh kezaliman luar biasa Bapak Presiden….
Apakah karena kami miskin sehingga kami tidak perlu mendapatkan keadilan..?. Atau karena kami berpendidikan rendah, dianggap warga negara kelas sepuluh sehingga kami tidak pantas mendapatkan keadilan..?.
Kami memang miskin Bapak Presiden.
Kami tidak mampu membeli keadilan dengan uang dan harta..Kami hanya bisa membelinya dengan doa dan tetesan air mata setiap malam, semoga Tuhan Kuasa kelak memberikan keadilan seadil-adilnya untuk kami. Karena kami sangat yakin dan percaya hanya Tuhan Penguasa Alam semesta yang Maha Adil untuk hamba-Nya. Hanya itu….
Saat ini saya hanya berharap kelak tidak ada lagi ibu-ibu seperti saya yang menghiba berurai air mata, berjuang mencari keadilan kepada Aparat Penegak Hukum yang hati nuraninya telah mati. Semoga Bapak Presiden berkenan dengan apa yang telah saya tuliskan ini. Terima kasih, kiranya Bapak Presiden selalu sehat dan panjang umur..
Pontianak, 25 Mei 2023
Hormat saya
LIEM. (*)