Gempita.co – Suasana perang dan perebakan pandemi virus corona tidak menyurutkan warga di Afghanistan, Irak dan Pakistan bersiap menyambut Idul Fitri.
Ada yang membuat makanan dan jajanan tradisional, menghias rumah dan berbelanja pakaian baru di pasar-pasar malam. Tak beda dengan di Indonesia.
“Kami berdoa kepada Allah agar segera ada perdamaian dan keamanan di negara kami sehingga warga bisa hidup makmur. Saat ini yang ada hanya pembunuhan dan kematian,” ujar Reza.
Doa Mohammad Reza, warga Kabul, Afghanistan ini tampaknya mewakili doa dan harapan semua orang di negara berpenduduk 30 juta jiwa itu.
Kembali maraknya aksi kekerasan menjelang penarikan mundur pasukan asing, kegusaran menunggu pemimpin baru dan kebijakannya, serta perebakan pandemi virus corona membayangi bulan puasa Ramadan.
Namun kini warga mengatakan sudah saatnya melupakan sejenak hal itu dan bersiap merayakan Idul Fitri.
Warga di Kabul sejak awal pekan ini sudah mulai mempersiapkan Simyan, cemilan khas Idul Fitri yang terbuat dari adonan dan bumbu-bumbu khas yang digoreng, berbentuk seperti mie garing.
Mereka yang tidak sempat membuat Simyan, bisa membelinya di pasar-pasar tradisional, sambil membeli kebutuhan hari raya lainnya.
Meskipun hidup dalam damai di negara yang dikoyak perang itu tampak mustahil, Taliban telah mengumumkan gencatan senjata selama tiga hari mulai hari Rabu (12/5) untuk menghormati Idul Fitri.
Pengumuman yang disambut warga dengan penuh rasa syukur ini disampaikan pasca serangan brutal terhadap sebuah sekolah putri di Kabul, yang menewaskan sedikitnya 60 orang, sebagian besar adalah siswi-siswi yang berusia 11 hingga 15 tahun.
“Idul Fitri akan segera tiba. Kami bersiap menyambutnya. Ada kabar baik tentang tercapainya perdamaian dalam waktu dekat ini, dan juga gencatan senjata selama tiga hari pada hari Idul Fitri,” kata Romal Nasiri.
Masih terus merebaknya pandemi virus corona, membuat warga Muslim untuk kedua kalinya merayakan Idul Fitri dengan pembatasan sosial sangat ketat. Termasuk di Karachi, ibu kota Pakistan.
Namun ribuan warga tidak mengindahkan pedoman itu dan tetap menyerbu pasar-pasar tradisional untuk membeli baju baru dan perhiasan. Kebijakan lockdown yang diberlakukan pada 9-16 Mei pun dilanggar.
Warga lokal Dur-e-Shehwar mengatakan, “Orang-orang tidak lagi mengikuti prosedur standarnya, seperti mengenakan masker. Kalau pun mengenakan masker, mereka hanya melakukannya demi formalitas semata. Begitu banyak terjadi keriuhan di tempat-tempat belanja, macet parah, tapi orang tetap tidak mau mengikuti prosedur kesehatan.”
Namun sebagian lainnya tetap memilih di rumah saja dan merayakan Idul Fitri dengan sederhana. Seperti Mahnoor Bahnoo.
“Pemerintah memberlakukan lockdown selama satu minggu dan semua toko akan tutup pada Chand Raat atau malam terakhir Ramadan. Jadi kami di rumah saja dan menghias tangan kami dengan henna,” tukasnya.
Menurut John Hopkins University, Pakistan sejauh ini mencatat 867.438 kasus virus corona, termasuk lebih dari 19 ribu korban meninggal.
Kegembiraan serupa juga dirasakan Esfandiyar Ahmad, seorang perempuan yang sudah mengungsi di Kamp Domiz di kota Afrin, Irak, sejak tahun 2012 lalu.
“Setiap tahun Idul Fitri hadir dan membawa rasa cinta, dan seperti lainnya, orang-orang juga pergi ke pasar. Kami membuat kue kering ma’amoul, barazek (kue kering khas Suriah), dan qurabiya (sejenis biscuit). Kami juga membeli baju baru. Anak-anak gembira dengan datangnya Idul Fitri,” tuturnya.
Ditambahkannya, dibanding kota asal mereka, Idul Fitri di Suriah jauh lebih menyenangkan dibanding di kamp yang dihuni oleh 28.000 pengungsi Suriah ini.
“Idul Fitri di Suriah lebih menyenangkan karena kami punya keluarga di sana. Kami biasanya pergi ke rumah kakek-nenek dan rumah-rumah lain untuk mendapat hadiah lebaran dari mereka, dan membeli baju baru. Tentu saja merayakan Idul Fitri bersama keluarga berbeda dengan di sini. Di sini kami tidak punya siapa-siapa, kecuali ayah dan ibu. Hanya keluarga kecil,” imbuhnya.
Sumber: voa