Jakarta, Gempita co – Gejolak ekonomi global diantisipasi Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) menyerukan kepada seluruh bank sentral di setiap negara untuk mewaspadai.
Seruan itu menyusul kondisi ekonomi global yang melemah dan mengalami penurunan tajam.
Dalam laporan terbarunya bertajuk World Economic Outlook edisi Oktober 2021, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global rontok akibat dampak varian delta.
Dua negara dengan perekonomian terbesar dunia, yakni Amerika Serikat (AS) dan China, pertumbuhan ekonomi keduanya diproyeksikan masing-masing tumbuh 6,0 persen dan 8,0 persen di 2021
Sementara Asia Tenggara (ASEAN), pertumbuham ekonomi di kawasan itu diproyeksikan hanya akan mencapai 2,9 persen (turun 1,4 percentage point/pp).
Negara Indonesia diproyeksikan hanya tumbuh 3,2 persen di 2021. Sementara pada 2022 tumbuh 5,9 persen.
Pada Juli, IMF masih memprediksi PDB Indonesia 2021 berkisar 3,9 persen (yoy) dari perkiraan sebelumnya sebesar 4,3 persen.
Sedangkan Malaysia menjadi 3,5 persen di 2021 dan 6 persen di 2022. Kemudian Filipina sebesar 3,2 persen di 2021 dan 6,3 persen di 2022.
Thailand bahkan ekonominya diprediksi hanya tumbuh 1 persen di 2021 dan 4,5 persen di 2022. Kemudian Vietnam 3,8 persen di 2021 dan 6,6 persen di 2022.
Dikutip dari laman IMF, Rabu (13/10/2021), penyebaran varian Delta menjadi faktor utama dari penurunan pertumbuhan ekonomi di banyak negara di dunia.
IMF menjelaskan bahwa pemulihan ekonomi melemah di sebagian besar negara maju karena dampak penyebaran COVID-19 varian Delta, juga gangguan rantai pasokan yang meluas yang berisiko menjadi hambatan bagi ekonomi dunia.
Selain itu, inflasi akan tetap tinggi untuk beberapa bulan ke depan di negara-negara maju seperti Inggris dan Amerika Serikat. Bank Sentral di negara-negara maju juga diperingatkan perlu waspada.
Dalam laporan World Economic Outlook tersebut, IMF mengatakan momentum pemulihan ekonomi telah melemah ketika COVID-19 varian Delta yang sangat menular menghentikan kembalinya aktivitas normal.
Kepala ekonom IMF, Gita Gopinath menyebut salah satu masalah terbesar adalah inflasi yang tinggi, terutama di Inggris dan AS yang masing-masing mencapai 3,2 persen dan 5,3 persen.
Masalah tersebut disebabkan oleh ketidaksesuaian antara permintaan dan pasokan, tetapi juga dalam kasus harga gas yang melonjak di Inggris.
Dikatakan juga bahwa inflasi kemungkinan akan stabil di sebagian besar negara pada pertengahan 2022, meskipun akan memakan waktu hingga 2023 di Inggris.
“Namun, bank sentral benar-benar harus waspada tentang apa yang terjadi,” kata Golpinath.
Sumber: ATN