Gempita.co- Sejumlah lembaga dan kalangan ramai-ramai memprotes keputusan sanksi terhadap lima anggota Polda Jawa Tengah yang dimutasi ke luar Pulau Jawa karena terlibat percaloan dan suap pada proses seleksi Calon Bintara di lingkungan Polda Jawa Tengah tahun 2022.
Ketua Indonesian Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santosa meminta Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo tidak diam dan harus melakukan peninjauan kembali atas putusan Komisi Kode Etik Kepolisian yang memberi sanksi demosi para oknum pelaku.
Menurut Sugeng, lima oknum polisi itu harus dipecat dan diproses pidana sesuai dengan Pasal 83 Perpol Nomor 7 tahun 2022 tentang Kode Etik.
“IPW menyayangkan putusan oknum yang terlibat percaloan hanya diberi sanksi mutasi, demosi 2 tahun ke luar Pulau Jawa dan permintaan maaf pada institusi. IPW mendorong Kapolri harus melakukan peninjauan kembali atas putusan tersebut merujuk Pasal 83 Nomor 7 tahun 2022 tentang Kode Etik. Para pelaku harus dipecat dan diproses pidananya,” ungkap Sugeng kepada CNNIndonesia.com, Selasa (14/3).
Sugeng menduga putusan sanksi ringan terhadap para oknum memiliki tujuan lain yaitu mengamankan yang menangkap dan yang ditangkap. Pasalnya, dia menyebut awalnya Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Propam Mabes Polri tersebut tidak terbuka dan tidak transparan. Ia malah menyebut dugaan OTT percaloan seleksi bintara itu baru terbuka ke publik berkat rilis IPW.
“IPW menduga ada upaya pengamanan antara yang menangkap dengan yang ditangkap agar kasus ini tidak terbuka, karena kalau pelaku dipecat di-PTDH khawatir mereka akan tidak puas dan membuka proses yang terjadi dalam penangkapan dan pemeriksaan,” kata Sugeng.
“Indikasi ini terlihat proses OTT di bulan Juni atau Juli 2022 didiamkan, tidak diangkat dan baru terbongkar setelah IPW merilis pada awal Maret lalu,” sambungnya.
Senada dengan IPW, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi (MAKI) Boyamin Saiman menyoroti kejanggalan untuk melokalisasi para pelaku percaloan seleksi bintara di Polda Jateng.
Dia pun mempertanyakan alasan Propam Polri yang melakukan OTT Pungli, malah melimpahkan kasusnya ke Propam Polda Jateng. Padahal, sambungnya, para pelaku adalah anggota Polda Jateng.
“Harus diproses pidana, tidak cukup hanya mutasi luar Jawa. Ini kan terjadinya di level Polda, mestinya tetap Propam Mabes yang menangani. Kalau ini dengan diserahkan Propam Polda dugaannya menjadi bisa dikanalisasi, menjadi tidak fair, bisa dikotakkan, dikecilkan, tidak dikembangkan,” ujar Boyamin.
Terpisah, Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti mengatakan pihaknya menilai sanksi yang dijatuhkan kepada para pelaku percaloan seleksi bintara itu wajar bila dikritisi publik.
Pasalnya, kata dia, itu adalah sebuah praktik kejahatan suap yang dilakukan pelaku, dan bisa pula dilihat sebagai sebuah pengkhianatan institusi Polri.
Poengky mengatakan hukuman ringan tidak akan menimbulkan efek jera, dan berisiko menyuburkan tindakan itu kembali berlangsung.
“Seharusnya diproses pidana agar ada efek jera dan fairness. Hukuman ringan tidak akan menimbulkan efek jera dan malah menyuburkan tindakan serupa. Tindak pidana yang tidak diproses pidana dan hanya diproses etik justru menunjukkan adanya diskriminasi, yang tentu saja menguntungkan para pelaku,” kata Poengky.
“Mereka yang coba-coba menggunakan kesempatan untuk mencari keuntungan pribadi dengan cara melakukan kejahatan suap adalah merupakan pengkhianat institusi Polri, sehingga layak dipecat dan diproses pidana,” imbuhnya.
Poengky pun menyoroti sanksi yang dijatuhkan kepada para pelaku adalah mutasi ke wilayah luar Pulau Jawa. Itu, kata dia, hanya menyuburkan stigma masa lalu, di mana yang bertugas di Pulau Jawa adalah orang berprestasi, sementraa di luar itu hanyalah buangan.
“Demosi dengan memutasikan para pelaku suap ke luar Jawa dikhawatirkan justru merugikan wilayah luar Jawa, karena mentransfer orang-orang berperilaku buruk yang seharusnya dihukum berat,” kata Poenky.
“Pemindahan anggota bermasalah ke luar Jawa juga merupakan praktik masa lalu yang menganggap daerah Jawa adalah daerah berprestasi, dan luar Jawa adalah ‘daerah buangan’. Hal ini malah menunjukkan diskriminasi terhadap wilayah luar Jawa, yang seharusnya menerima anggota2 berprestasi, agar dapat meningkatkan profesionalitas wilayah,” tambahnya.