Jakarta, Gempita.co – Kasus dugaan tindak pidana korupsi Perusahaan Daerah Pertambangan dan Energi Sumatera Selatan (PDPDE Sumsel), Kejaksaan Agung telah menetapkan lagi dua tersangka.
Salah satu tersangka merupakan Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Alex Noerdin.
“Iya, betul,” kata Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejagung Supardi saat dikonfirmasi, Kamis (15/9/2021) dikutip RRI.co.id.
Selain itu, penyidik juga menetapkan tersangka mantan Komisaris PDPDE Sumsel Muddai Madang.
Keduanya ditetapkan sebagai tersangka setelah menjalani pemeriksaan sejak pukul 09.00 WIB pagi tadi.
Sebelumnya, Kejagung telah menetapkan dua tersangka terkait kasus tersebut.
Adapun kedua tersangka yang ditetapkan adalah CISS selaku Direktur Utama PDPDE Sumsel sejak 2008 dan Direktur Utama PDPDE Sumsel telah menandatangani perjanjian kerja sama antara PDPDE Sumsel dan PT Dika Karya Lintas Nusa (PT. DKLN), berdasarkan Surat Penetapan Tersangka Nomor: TAP- 22/F.2/Fd.2/09/2021 tanggal 08 September 2021.
Tersangka kedua adalah AYH selaku Direktur PT Dika Karya Lintas Nusa (PT DKLN) sejak 2009 merangkap sebagai Direktur PT PDPDE Gas sejak 2009 dan juga Direktur Utama PDPDE Sumsel sejak 2014, berdasarkan Surat Penetapan Tersangka Nomor: TAP- 23/F.2/Fd.2/09/2021 Tanggal 08 September 2021.
“Tim Penyidik pada Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus telah menetapkan 2 orang tersangka terkait Tindak Pidana Korupsi Pembelian Gas Bumi oleh BUMD Perusahaan Daerah Pertambangan dan Energi (PDPDE) Sumatera Selatan Tahun 2010-2019,” kata Kapuspenkum Kejagung Leonard Eben Ezer Simanjuntak, dalam keterangan tertulis, Rabu (8/9/2021).
Kasus ini bermula pada 2010, ketika Pemprov Sumatera Selatan memperoleh alokasi untuk membeli gas bumi bagian negara dari DARI J.O.B PT. Pertamina, Talisman Ltd. Pasific Oil and Gas Ltd., Jambi Merang (JOB Jambi Merang) sebesar 15 MMSCFD berdasarkan Keputusan Kepala Badan Pengelola Minyak Dan Gas (BP MIGAS) atas permintaan Gubernur Sumsel.
Kemudian berdasarkan keputusan Kepala BP Migas tersebut, dan juga ditunjuk sebagai pembeli gas bumi bagian negara itu adalah BUMD Provinsi Sumsel (Perusahaan Daerah Pertambangan dan Energi Provinsi Sumatra Selatan (PDPDE Sumsel).
Akan tetapi, dengan dalih PDPDE Sumsel tidak mempunyai pengalaman teknis dan dana, PDPDE Sumsel bekerja sama dengan investor swasta, PT Dika Karya Lintas Nusa (PT DKLN), membentuk perusahaan patungan (PT PDPDE Gas) yang komposisi kepemilikan sahamnya adalah 15 persen untuk PDPDE Sumsel, dan 85 persen untuk PT DKLN.
Penyimpangan tersebut telah mengakibatkan dugaan kerugian keuangan negara berdasarkan perhitungan BPK RI sebesar U$D 30.194.452.79 (tiga puluh juta seratus sembilan puluh empat ribu empat ratus lima puluh dua koma tujuh puluh Sembilan sen dolar Amerika Serikat) yang berasal dari hasil penerimaan penjualan gas dikurangi biaya operasional selama kurun 2010-2019, dan seharusnya diterima oleh PDPDE Sumsel.
Serta kerugian keuangan negara sebesar U$D 63.750,00 (enam puluh tiga ribu tujuh ratus lima puluh dolar Amerika Serikat) dan Rp 2.131.250.000,00 (dua miliar seratus tiga puluh satu juta dua ratus lima puluh ribu rupiah) yang merupakan setoran modal yang tidak seharusnya dibayarkan oleh PDPDE Sumsel.
Peran tersangka CISS adalah Direktur Utama PDPDE Sumsel sejak 2008 merangkap sebagai Dirut PT PDPDE Gas sejak 2010.
Tersangka CISS selaku Direktur Utama PDPDE Sumsel telah menandatangani perjanjian Kerjasama antara PDPDE Sumsel dengan PT DKLN.
Sementara itu, tersangka AYH adalah Direktur PT DKLN sejak 2009 merangkap sebagai Direktur PT PDPDE Gas sejak 2009 dan juga Direktur Utama PDPDE Sumsel sejak 2014.
Sedangkan tersangka AYH pada saat yang sama merangkap jabatan Direktur DKLN dan Direktur PDPDE Sumsel.
Kedua tersangka lalu dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Serta Pasal 3 Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Perubahan Undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.