Jakarta, Gempita.co – Seorang kakek bernama Wijanto Halim, kembali dilaporkan ke polisi oleh Suherman Mihardja, Advokat yang juga pengembang properti di Tangerang. Kakek berusia 87 tahun ini dilaporkan Suherman Mihardja melalui kuasa hukumnya Peter Wongsowidjojo lantaran diduga menjual tanah yang sudah bukan miliknya lagi.
“Ini bukan pertama kalinya Wijanto Halim dilaporkan ke polisi, dan bukan kali pertama dia terjerat hukum, karena masih tetap mengakui lahan yang sudah dia jual,” ujar Peter, dalam keterangan pers di Jakarta, Kamis (5/8/2021).
Ia menyebut laporan tersebut tertuang dalam laporan polisi dengan Nomor: TBL/B/47/I/ 2021/PMJ/Restro Tangerang Kota tanggal 17 Januari 2021 terkait dugaan pelanggaran pasal 266 KUHP dan pasal 385 KUHP.
“Kami melaporkan Wijanto Halim perihal dugaan perbuatan melawan hukum dengan menempatkan keterangan palsu ke dalam Akta Otentik dan atau penggelapan hak Atas barang yang sesuai dengan Pasal 266 KUHP, dan atau 385 KUHP atas perbuatan melawan hukum yang dilakukannya saat melakukan transaksi jual beli 23 (dua puluh tiga) bidang tanah di Desa Jurumudi Kecamatan Benda, Kota Tangerang dengan PT Profita Puri Lestari,” kata Peter Wongsowidjojo, dalam keterangan pers yang diterima di Jakarta, Rabu (4/8/2021).
Peter mengatakan, laporan tersebut saat ini dalam proses penyidikan berdasarkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) tertanggal 22 Juni 2021.
Peter pun mengungkapkan permasalahan yang membuat kakek ini untuk kesekian kalinya dilaporkan ke pihak berwajib.
“Perkara tersebut berawal dari adanya transaksi jual beli yang dilakukan di Kantor Notaris Yan Armin, S.H., dengan 22 (dua puluh dua) Akta Pelepasan Hak pada tanggal 3 Oktober 2013 antara Wijanto Halim berdasarkan Surat Kuasa Nomor 82 dan 83 yang dibuat di hadapan Notaris H.Muh Hendarmawan, S.H, Notaris di Jakarta tertanggal 23 Januari 1981 dengan Rahardjo dan Tahir Santoso Tjioe (PT Propita Puri Lestari Indah) atas 23 (dua puluh tiga) AJB atas nama Johanes Gunadi,” ungkapnya.
“Transaksi tersebut sangat merugikan bagi klien saya selaku ahli waris dari (alm) Surya Mihardja sebagai pembeli pertama tanah atas nama Johanes Gunadi di Desa Jurumudi, Kecamatan Benda, dahulu Kecamatan Batuceper sejak 1988. Oleh karenanya, klien saya melaporkannya atas transaksi ke 22 (dua puluh dua) Akta Pelepasan Hak No.16 sampai Akta Pelepasan Hak No 38 tertanggal 3 oktober-2013,” sambung Peter.
Kronologi
Peter juga menjelaskan, kronologi asal usul kepemilikan tanah milik kliennya. Kepemilikan tersebut sesuai fakta bahwa Girik-girik/Letter C pada 23 (dua puluh tiga) AJB atas nama Johanes Gunadi pada tahun 1978 telah dilebur atau disatukan menjadi 1 (satu), yaitu dengan Nomor C 2135 pada tahun 1981 dan Wijanto Halim pada tahun 1988, selaku pemegang kuasa berdasarkan Surat Kuasa No.82 dan No.83 tanggal 23 Januari 1981 yang dibuat di hadapan Notaris Raden Muhamad Hendarmawan, SH, di Jakarta.
“Wijanto Halim melakukan transaksi jual beli kepada alm Pak Surya Mihardja, ayahnya klien saya Pak Suherman Mihardja di hadapan Camat Batu Ceper, Drs.Darmawan Hidayat yang tertuang dalam 5 (lima) AJB yaitu AJB No.703 sampai dengan 707 /JB/AGR/1988 tertanggal 31 Desember 1988 yang kemudian dibuatkan Sertifikat atas nama Klien saya Bapak Suherman Mihardja sejak tahun 1997 di Kantor Badan Pertanahan Kota Tangerang,” terang Peter.
Namun, lanjut Peter, Wijanto Halim mengaku tidak pernah melakukan transaksi jual beli tersebut. Ia malah melaporkan alm Surya Mihardja ke pihak berwajib hingga perkara bergulir di persidangan. Lantaran tidak bersalah (alm) Surya Mihardja divonis bebas murni dan sesuai putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 866K/Pid/1993 tertanggal 10 Februari 1998 menolak kasasi dari Jaksa Penuntut Umum.
“Namun tidak sampai di situ saja, Wijanto Halim kemudian melakukan gugatan perdata di Pengadilan Negeri Tangerang dengan Nomor 542/PDT.G/2013/PN.TNG tertanggal 30 September 2013 dengan alas hak kepemilikan tanah dengan 23 (dua puluh tiga) AJB tahun 1978 yang Girik-giriknya sudah dilebur atau disatukan/dimatikan menjadi 1 (satu) Nomor Girik baru yaitu C-2135 yang sudah ditransaksikan kepada orang tua Pak Suherman pada tahun 1988,” jelas Peter.
Gugatan sengketa kepemilikan tanah tersebut dikabulkan oleh Majelis Hakim PN Tangerang, namun tak bertahan lama. Pasalnya, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Banten membatalkannya berdasarkan putusan dengan Nomor 99/PDT/2014/PT.BTN. Kemudian dikuatkan oleh Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor: 3221 K/PDT/2015 tertanggal 24 Februari 2016 dan Putusan Permohonan Peninjauan Kembali Nomor 481 PK/PDT/2018 tertanggal 30 Juli 2018.
“Salah satu pertimbangan Majelis Hakim pada Pengadilan Tinggi dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung sebagaimana Wijanto Halim sebagai penggugat yang menerima kuasa dari Johanes Gunadi pada tanggal 23 Januari 1981 berdasarkan Surat Kuasa Nomor 82 dan 83 yang dibuat oleh Raden Muhamad Hendarmawan, SH, Notaris di Jakarta, tetapi pemberi kuasa sesuai dengan bukti dan fakta bahwa Johanes Gunadi sudah meninggal pada tanggal 20 Juli 1987, gugatan Wiyanto Halim diajukan pada 1 Oktober 2013, maka dengan meninggalnya pemberi kuasa, kuasa tersebut berakhir demi hukum, vide pasal 1813 KUHP (burgedjik welboek) sehingga penggugat (inc Wiyanto Halim) tidak memiliki legal standing melakukan gugatan,” paparnya.
Rugi Rp 60 Miliar
Masih menurut Peter, atas perbuatan Wijanto Halim yang telah menjual tanah milik orang tua kliennya, pada tahun 1988 dan sudah sah serta mempunyai kekuatan hukum tetap (inchrach), sesuai Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 3221 K/PDT/2015 tertanggal 24 Februari 2016 serta Putusan Permohonan Peninjauan Kembali Nomor 481 PK/PDT/2018 tertanggal 30 Juli 2018 kliennya mengalami kerugian sebesar Rp 60.000.000.000 (enam puluh miliar rupiah).
Selain Wijanto Halim, kliennya juga telah melaporkan Notaris Yan Armin,SH yang telah membuat 22 (dua puluh dua) Akta Pelepasan Hak pada tanggal 3 Oktober-2013 antara Wijanto Halim dengan PT Profita Puri Lestasi selaku pembeli yang berdasarkan Surat Kuasa No.82 dan No.83 yang dibuat di hadapan Notaris H.Muh Hendarmawan Sarjana Hukum, Notaris di Jakarta tertanggal 23 Januari 1981.
“Johanes Gunadi sudah meninggal 32 (tiga puluh dua) tahun yang lalu pada saat transaksi tersebut, Notaris tersebut tidak melakukan pengecekan atas keabsahan atas Girik-girik milik Johanes Gunadi yang sebenarnya sudah tidak berlaku lagi karena sudah dilebur atau disatukan /dimatikan sejak tahun 1981 ke pihak Kelurahan dan Kecamatan serta Kantor Badan Pertanahan Kota Tangerang,” katanya.
Maka sesuai dengan permasalahan tersebut, sudah jelas karena diduga atas kecerobohan dan kelalaian Notaris Yan Armin, SH, yang tidak melaksanakan asas ketelitian, asas kecermatan dan kehati-hatian dalam melakukan transaksi tersebut.
“Sehingga klien kami merasa sangat dirugikan selaku pemilik tanah yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (inchracht) secara sah, sehingga atas peristiwa tersebut klien saya melaporkannya ke Majelis Dewan Pengawas Notaris terhormat,” pungkas Peter.
Atas laporan polisi tersebut, baik pihak Wijanto Halim, PT Profita Puri Lestari hingga Notaris Yan Armin belum dapat dikonfirmasi.(tim)