Kendalikan Resistensi Antimikroba, KKP dan FAO Gelar “Workshop on AMR Surveillance and Monitoring”

Jakarta, Gempita.co – Guna mendukung pengendalian resistensi antimikroba (AMR) pada perikanan budidaya, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), berkolaborasi dengan Food and Agriculture Organization (FAO) menggelar acara “National Training Workshop on Antimicrobial Resistance (AMR) Surveillance and Monitoring”, di Anyer Kabupaten Serang pada tanggal 16 – 19 November 2020 lalu.

Produksi perikanan budidaya di Indonesia cukup tinggi baik untuk komoditas air payau, air tawar dan laut. Namun demikian, dalam proses produksi sering terkendala dengan adanya penyakit yang menginfeksi ikan berupa virus, bakteri, jamur, maupun parasit.Dalam mengatasi penyakit, tidak terlepas dari penggunaan antimikroba, namun dalam pemakaiannya harus dilakukan secara bijak.

Bacaan Lainnya
Gempita Bali Transport

“Acara yang diselenggarakan merupakan salah satu upaya DJPB untuk ikut serta mengendalikan resistensi antimikroba khususnya di perikanan budidaya,” ungkap Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Slamet Soebjakto.

Resistensi antimikroba merupakan salah satu permasalahan global yang perlu mendapat perhatian serius baik pada bidang kesehatan manusia, hewan maupun perikanan. Khusus untuk perikanan, pengaturan tentang resistensi antimikroba telah diatur oleh the World Organisation for Animal Health (OIE) dalam Aquatic Animal Health Code Tahun 2014 terutama pada Bab 6.

“Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Instruksi Presiden terkait pengendalian antimikroba kepada Menteri Kelautan dan Perikanan melalui Inpres Nomor 4 Tahun 2019 dan mengatur penggunaan antimikroba yang diperbolehkan di perikanan budidaya sesuai dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 01/PERMEN-KP/2019 tentang Obat Ikan, dengan antimikroba meliputi eritromisin, enrofloksasin, klortetrasiklin, oksitetrasiklin, dan tetrasiklin,” jelas Slamet.

“Penggunaan antimikroba secara luas yang tidak terkendali dapat memicu munculnya resistensi antimikroba. Namun begitu, penggunaan antimikroba tidak menjadi masalah apabila digunakan secara tepat sesuai dengan jenis bakteri yang menginfeksi, dosis dan sesuai dengan mekanisme kerja antibakteri tersebut,” tambah Slamet.

Slamet menambahkan saat ini perikanan budidaya masih menjadi salah satu tulang punggung ketahanan pangan dan pemulihan ekonomi nasional selama pandemi Covid-19. Oleh karenanya, DJPB tidak mau di saat kondisi seperti sekarang, produktivitas perikanan budidaya terganggu karena adanya penyakit yang menyerang pada ikan.

“Pada saat seperti sekarang ini harus mampu merumuskan formula penanganan penyakit dalam perikanan budidaya tetapi tidak meningkatkan risiko terjadinya resistensi antimikroba dan pada akhirnya tidak mengganggu produksi perikanan budidaya nasional,” ujar Slamet.

Pengendalian Resistensi

Direktur Kawasan dan Kesehatan Ikan DJPB, Tinggal Hermawan juga mengarisbawahi pengendalian resistensi antimikroba merupakan upaya untuk memastikan bahwa produk akuakultur khususnya komoditas ikan konsumsi telah memenuhi prinsip keamanan pangan sehingga menjamin kesehatan masyarakat.

“Penggunaan antimikroba yang menyimpang dan berlebihan baik pada bidang kedokteran dan produksi pangan telah menjadi risiko bagi seluruh bangsa di dunia,” ujar Tinggal.

Tinggal menambahkan, Indonesia telah menyusun rencana aksi nasional pengendalian AMR tahun 2020-2024 yang dikoordinasikan oleh Kementerian Kesehatan dengan melibatkan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta BPOM. Rencana Aksi Nasional Tahun 2020-2024 ini merupakan kelanjutan rencana aksi nasional sebelumnya.

“Kegiatan seperti ini sebagai bentuk kesepahaman, keselarasan dalam meningkatkan pemahaman dan kewaspadaan terhadap resistensi antimikroba. Selanjutnya dari hasil penyamaan persepsi dalam pengumpulan data AMR dapat dilakukan pembaharuan Juknis Surveilan dan Metode Uji AMR khususnya dalam bidang perikanan budidaya”, tutur Tinggal.

“Untuk itu, komunikasi antar petugas laboratorium baik di lingkup UPT DJPB maupun Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi perlu lebih diperkuat lagi, khususnya dalam melaksanakan surveilan dan monitoring penggunaan antimikroba (AMU)/AMR dan pengujian AMR,” sambungnya.

Menurutnya, jejaring antar Laboratorium Kesehatan Ikan dan Lingkungan (Keskanling) ini sangat dibutuhkan. Oleh karenanya penting mulai dari pusat sampai ke daerah untuk meningkatkan kapasitas laboratorium yang dimiliki serta meningkatkan koordinasi agar dapat lebih bersinergi dalam melakukan kegiatan surveilan dan monitoring tersebut.

“Kami mengucapkan terima kasih dan apresiasi setinggi-tinginya kepada FAO, Loka Pemeriksaan Penyakit Ikan dan Lingkungan (LP2IL) Serang yang telah bersedia memfasilitasi kegiatan ini, dan tidak lupa kepada seluruh peserta pelatihan yang telah berupaya hadir mengikuti pertemuan ini,” ucapnya.

Ia berharap luaran dari kegiatan Pelatihan AMR ini dapat mengembangkan kapasitas dan kemampuan teknis dari personel laboratorium uji yang ada di Unit Pelaksana Teknis DJPB dalam melakukan Surveilan AMR dan menguji kepekaan antimikroba.

“Sehingga penyakit pada perikanan budidaya bisa ditangani dengan baik dan benar, tanpa menimbulkan risiko terjadinya resistensi antimikroba, serta produksi perikanan budidaya bisa lebih baik dan meningkat,” jelas Tinggal.

Apresiasi Pelatihan

Hal senada juga disampaikan oleh Kepala LP2IL Serang, Yayan Sofyan, yang sangat mengapresiasi kegiatan pelatihan. Melalui pelatihan AMR ini sangat diharapkan laboratorium Keskanling lintas UPT DJPB, kemampuan SDM serta metode uji AMR nya sama sehingga menghasilkan hasil uji yang sama juga dan dapat dijadikan sebagai Data Nasional.

“LP2IL Serang merupakan laboratorium acuan untuk Uji AMR, kami mengharapkan dukungan dari semua pihak agar agenda panjang untuk memerangi resistensi antimikroba ini dapat dilaksanakan dan memberikan hasil yang baik,” jelas Yayan.

Beberapa poin penting dalam paparan National Consultant FAO, Mukti Sri Hastuti kepada peserta yakni kedepan kesinambungan dari rangkaian kegiatan pengendalian AMR. Dihasilkannya sebuah technical guideline bagi petugas di laboratorium dan data yang dihasilkan merupakan gambaran valid kegiatan surveilan dan monitoring AMU/AMR.

“Diharapkan adanya pelatihan AMR ini, semua peserta akan mempunyai persepsi yang sama pengambilan sampel, preparasi sampel, pengujian dan pembacaan data hasil pengujian,” harap Mukti.

Sementara itu, Maria Fatima Palupi dari Kementerian Pertanian dalam paparan materinya menyampaikan tentang Presentation of AMR Surveillance and Monitoring in Terrestrial Animal. Memberikan beberapa resume kegiatan terkait pemetaan (mapping) dari dampak kematian dan kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh AMR yang berhubungan dengan bidang pertanian ataupun peternakan dan perlunya analisis risiko dari resistensi antimikroba.

“Ini merupakan suatu hal yang sangat serius, di tahun 2013 saja dapat dilihat sebanyak 700 ribu jiwa angka kematian akibat kasus infeksi bakteri yang resisten terhadap antimikroba, dan tahun 2050, jika pengendalian AMR tidak ditindaklanjuti, diprediksi terjadi kematian 10 juta jiwa/tahun, melebihi angka kematian akibat kanker serta kerugian ekonomi kurang lebih 10 triliun USD/tahun,” jelas Maria.

Sumber: Humas Ditjen Perikanan Budidaya

Pos terkait

Iklan Layanan Masyarakat Kemenkumham Bali