“Fenomena “no viral no justice” dipandang telah membukakan jalan bagi masyarakat untuk turut andil menegakkan keadilan dengan cara yang cukup praktis.”
Oleh Rukmana, SH
Kehadiran internet, media sosial dan media siber telah memudahkan masyarakat mendapatkan informasi, termasuk soal penegakan hukum. Alhasil, banyak peristiwa hukum yang menjadi sorotan publik atau istilahnya “viral”. Fenomena ‘no viral no justice” pun mengemuka manakala sebuah perkara hukum baru ditindaklanjuti pasca viral di media sosial. “Tidak ada keadilan jika belum viral. Kalau mau cepat ditangani, viralkan dulu kasusnya di media sosial. Sebab, no viral no justice”. Demikian ungkapan satir yang sedang ngetren di benak masyarakat pengguna media sosial.
Pembahasan mengenai fenomena “no viral no justice” menarik apabila dibahas dari sisi ruang digital itu sendiri sebagai role model pergerakan massa. Motif fenomena ini tidak lain merupakan bentuk simpati dan kepedulian yang muncul karena masyarakat menilai ada ketidakadilan tersaji di depan layar. Saat sedang membuka media sosial, tiba-tiba muncul sebuah postingan yang mengusik hati nurani, spontan jari pun akan merespons.
Fenomena “no viral no justice” juga bersifat penggiringan opini yang berawal dari sebuah postingan untuk mempengaruhi netizen. Meski penggiringan opini, fenomena ini bukan sebuah hal yang negatif karena didasari kepedulian, dan menjadi dorongan sekaligus harapan terhadap lembaga atau instansi agar dapat bekerja sesuai aturan.
Fenomena “no viral no justice” dipandang telah membukakan jalan bagi masyarakat untuk turut andil menegakkan keadilan dengan cara yang cukup praktis. Betapa tidak, sembari duduk santai menikmati secangkir kopi, pengguna media sosial bisa berpartisipasi “menegakkan keadilan” hanya bermodalkan sebuah gadget dan jaringan internet.
Kendati demikian, hoaks alias berita bohong tentunya tetap menyusup dalam ruang digital. Alih-alih sukses ingin membuat viral, namun malah jadi bumerang. Pasalnya, kurang cermatnya menerima informasi dan minimnya literasi berakibat fatal dengan menelan mentah-mentah kabar yang berdampak terkena sanksi jeratan UU ITE.
Hendaknya fenomena “no viral no justice” bersifat sistematik dengan mengubah bentuk simpati yang dihasilkan oleh penggiringan opini tadi menjadi sebuah kesadaran kolektif. Harapan ke depan, perkembangan teknologi yang pada hakikatnya bukan lagi sekadar memudahkan, tetapi juga dapat dimanfaatkan sebagai alat mencerdaskan. Sehingga muncullah hal-hal baru yang bersifat positif dari kehadiran ruang publik alternatif tadi. Ruang digital yang dipandang menjadi alat penegakan hukum ini juga diharapkan jadi pembelajaran dan evaluasi kinerja instansi penegak hukum, karena banyak “mata” yang mengawasi, salah satunya “netizen maha benar”. Semoga.
Wallahu a’lam bishawab.
*Penulis adalah Wapemred Media Gempita.co, Anggota PWI dan juga Pengamat Hukum.