JAKARTA, Gempita. co-Ikan merupakan sumber bahan pangan yang bermutu tinggi karena mengandung protein yang sangat dibutuhkan oleh manusia. Akan tetapi, ikan merupakan bahan pangan yang mudah rusak sehingga perlu upaya pengembangan produk bernilai tambah dalam bentuk diversifikasi olahan, perbaikan teknologi, dan perbaikan kemasan. Untuk itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) kembali menggelar berbagai pelatihan pengolahan hasil perikanan.
Pada Kamis, 22 Oktober 2020, melalui Balai Pelatihan dan Penyuluhan Perikanan (BPPP) Ambon, digelar pelatihan pembuatan sosis ikan. Pelatihan ini diikuti oleh 630 peserta dan diselenggarakan dalam dua sesi. Selain itu, melalui BPPP Banyuwangi juga digelar Pelatihan Aspirasi Diversifikasi Olahan Ikan bagi Masyarakat di empat kabupaten di Provinsi NTT yaitu Kab. Ende, Kab. Flores Timur, Kab. Sikka, dan Kab. Alor. Keempat kabupaten ini dipilih karena dinilai sebagai kabupaten dengan potensi perikanan terbesar dari 22 kab./kota di NTT. Pelatihan digelar selama dua hari, yaitu Kamis-Jumat, 22-23 Oktober 2020.
Kepala Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM) Sjarief Widjaja mengatakan, pelatihan ini dilaksanakan dalam rangka mendukung program Gerakan Memasyarakatkan Makan Ikan (Gemarikan) untuk mengentaskan persoalan _stunting_ (hambatan pertumbuhan) di Indonesia. Tak kalah penting, pelatihan ini juga untuk menyediakan alternatif usaha bagi masyarakat guna menunjang perekonomian keluarga di tengah pandemi.
“Semoga pelatihan ini dapat memberikan informasi dan pengetahuan bagi masyarakat Indonesia untuk meningkatkan asupan gizi dan juga keberlanjutan usaha di tengah pandemi Covid-19,” tutur Sjarief.
Sjarief melanjutkan, pelatihan penanganan dan pengolahan ikan perlu digencarkan karena tidak membutuhkan modal besar dan peralatan yang canggih. “Teknologi yang digunakan cukup sederhana,” ucapnya. Namun, teknologi penanganan dan pengolahan yang sederhana ini mampu memberikan nilai tambah bagi usaha masyarakat.
“Ikan akan memiliki nilai ekonomi yang makin bagus jika diolah dan ditangani dengan baik,” tukasnya.
Sementara itu, terkait pelatihan pembuatan sosis ikan, Kepala Pusat Pelatihan dan Penyuluhan Kelautan dan Perikanan (Puslatluh KP), Lilly Aprilya Pregiwati berpendapat bahwa sosis adalah produk makanan sehat yang digemari masyarakat, terutama anak-anak. Dengan pengolahan yang tepat, sosis ikan tak kalah enak dan sehat dibandingkan kebanyakan sosis yang dibuat dari bahan baku ayam atau daging sapi.
“Membuat sosis ikan ini tentunya tidak butuh modal yang besar, tidak butuh waktu yang banyak, dan mudah dipasarkan. Produknya juga lebih awet karena dapat dijual dalam bentuk kemasan beku. Jadi ini peluang usaha yang baik untuk kita semua,” ujar Lilly.
Adapun terkait pelatihan aspirasi diversifikasi olahan ikan, Lily mengatakan materi yang akan diberikan berupa penanganan ikan segar, pembuatan spring roll ikan, cordon bleu ikan, dan pempek ikan. Peserta yang merupakan pelaku utama, pelaku usaha, dan pengolah ikan mengikuti dari lokasi masing-masing menggunakan alat dan bahan yang telah disiapkan secara mandiri. Peserta dapat mengikuti dari rumah masing-masing atau secara kelompok dengan didampingi oleh penyuluh perikanan.
Anggota Komisi IV DPR RI, Julie Sutrisno Laiskodat yang merupakan inisiator pelatihan menyampaikan terima kasih kepada KKP dan BPPP Banyuwangi atas penyelenggaraan pelatihan di NTT ini. Menurutnya, NTT memiliki potensi perikanan yang sangat besar mengingat 60% wilayahnya merupakan lautan. Mayoritas masyarakatnya juga bekerja sebagai petani, peternak, dan nelayan.
Namun, besarnya potensi perikanan yang dimiliki berbanding terbalik dengan keadaan perekonomian masyarakat yang masih sangat rendah dan angka stunting NTT yang masih sangat tinggi. Bahkan Julie menyebut, NTT merupakan provinsi peringkat pertama dengan jumlah stunting tertinggi di Indonesia.
“Nelayan kita disebut nelayan miskin kemudian angka stunting tertinggi, ini tidak masuk akal. Berarti ada yang salah mungkin di sinergitasnya. Makanya kita bersama-sama melakukan pelatihan ini,” jelasnya.
Untuk itu, menurut Julie pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan DPR bekerja sama mengampanyekan Gemarikan. Hal ini sejalan dengan slogan pemerintah NTT, yaitu bangkit dan sejahtera.
“Bangkit ini kita lakukan dengan kampanye Gemarikan untuk mencegah stunting dan gizi buruk. Intinya kita tingkatkan kualitas SDM kita,” katanya.
Caranya dengan memberikan alternatif variasi atau inovasi olahan ikan agar menu masakan ikan yang disajikan tak melulu ikan rebus atau goreng. Julie berpendapat, alternatif sajian ini juga akan mengubah pandangan masyarakat mengenai ikan yang dianggap sebagai makanan ‘murah’ dan ‘kurang berkelas’ dan dianggap kalah pamor dibanding daging sapi dan ayam.
“Kita harus memulai mengubah mindset ini. Di setiap ada acara kita harus menyajikan ikan. Kita juga harus meyakinkan masyarakat untuk mengonsumsi ikan, berkaca pada masyarakat Jepang. Berkat rajin konsumsi ikan, masyarakat Jepang tumbuh menjadi pintar dan cerdas. Hasilnya sekarang mereka dapat menjadi negara maju,” lanjutnya.
Kedua, sejahtera. Menurut Julie, sejahtera ini dapat dicapai dengan membantu mengajarkan nelayan cara penanganan ikan yang baik sehingga dapat menjangkau pasar yang lebih baik. Jika sebelumnya nelayan menangkap ikan di laut, kemudian menjual ke pasar tradisional atau langsung menjual ke masyarakat pembeli di pinggir pantai, maka sudah saatnya nelayan diajarkan mengolah ikan yang didapat menjadi fillet, loin, dan sebagainya agar ada peningkatan nilai.
“KKP memfasilitasi bagaimana mempertahankan kualitas ikan sehingga kita bisa jual tidak hanya di pasar dan di rumah-rumah, tapi juga bisa ke pasar nasional dan internasional. Bagaimana cara setelah ikan di dapatkan dari laut dan bagaimana tahap-tahapannya agar dia tetap segar.”
Masyarakat NTT memiliki sumber daya perikanan yang sangat potensial, namun masih kekurangan ilmu dan inovasi. Dengan pelatihan ini diharapkan masyarakat memperoleh ilmu baru sehingga dengan sumber daya ikan yang begitu besar, NTT dapat membuat produk olahan sendiri. Dengan demikian tak lagi mengandalkan produk olahan ikan yang diproduksi di Pulau Jawa.
Tak hanya bagi pelaku utama, pelatihan pengolahan hasil perikanan juga digelar untuk penyuluh perikanan bantu (PPB), seperti yang dilakukan BPPP Medan dan Balai Riset Perikanan Perairan Umum dan Penyuluh Perikanan (BRPPUPP) Palembang. Sebanyak 93 PPB dari 43 kab/kota dibekali ilmu pengolahan hasil perikanan melalui pelatihan model e-learning blended system pada 19-24 Oktober 2020.
Lilly mengatakan, sebagai pendamping dan pembina pelaku utama/pelaku usaha kelautan dan perikanan, penyuluh perlu memiliki bekal ilmu yang cukup. Ini dibutuhkan sebagai modal mendampingi masyarakat dalam meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan kesejahteraan, hingga kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Masih terkait kinerja penyuluhan, Kamis (22/10), KKP juga menyelenggarakan temu lapang percontohan penyuluhan budidaya magot sebagai pakan alternatif sekaligus pelatihan aspirasi masyarakat bidang budidaya pembesaran ikan patin dan pembuatan pakan mandiri. Pelatihan ini digelar di Kabupaten Rokan Hulu, Provinsi Riau.
Tujuannya adalah untuk mendukung strategi pembangunan perikanan budidaya 2020-2024 yang memiliki empat aspek, antara lain: peningkatan produksi, peningkatan kesejahteraan, pengelolaan kawasan berkelanjutan, dan integrasi lintas sektor. Di antara komoditas unggulan yang masuk dalam fokus perikanan budidaya ialah udang, rumput laut, lobster, ikan patin, ikan hias, ikan sidat, serta salah satu pakan alternatif yakni magot.
“KKP berusaha mengedukasi masyarakat tentang budidaya magot maupun budidaya patin dan pembuatan pakan mandiri. Sedangkan percontohan penyuluhan merupakan metode penyuluhan untuk melakukan demonstrasi cara atau hasil teknologi kelautan dan perikanan yang inovatif untuk memperlihatkan secara nyata tentang pembinaan dan cara atau hasil penerapan teknologi kelautan dan perikanan di lapangan sehingga dapat diterima oleh pelaku utama dan pelaku usaha perikanan,” terang Lilly.
Cara ini dinilai lebih cepat untuk mendiseminasikan teknologi karena pelaku utama/pelaku usaha dapat melihat sendiri kelebihan dan kekurangannya serta kemungkinan untuk dapat diterapkan pada usaha masing-masing.
Sebagai informasi, hingga Oktober 2020, kegiatan percontohan Budidaya Magot di Kabupaten Rokan Hulu ini sudah menghasilkan 4.589 gram, 1.864 kg magot, dan 209 kg prepupa. Telur magot ini dapat dijual dengan harga Rp10.000 per gram. Sedangkan magotnya dijual seharga Rp8.000 per kg. Dengan budidaya ini, diharapkan biaya produksi dapat ditekan dan keuntungan dapat ditingkatkan.
“Mari kita semua bergandengan tangan, saling bersinergi baik pemerintah pusat, daerah, swasta dan masyarakat, sehingga ditengah pandemi ini, masyarakat kita masih bisa produktif untuk kelangsungan hidupnya,” tandas Lilly.