Jakarta, Gempita.co-Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam keras tindakan anggota kepolisian yang mengakibatkan kematian terhadap enam orang yang sedang mendampingi perjalanan Habib Rizieq Shihab (HRS).
Hal tersebut disampaikan Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti dalam rilis resminya dalam merespon peristiwa itu.
Menurutnya, peristiwa ini merupakan bentuk pelanggaran prinsip fair trial atau peradilan yang jujur dan adil terhadap masyarakat terkait penyelidikan dan penyidikan yang tidak dipenuhi oleh pihak kepolisian.
“Prinsip fair trial dalam peristiwa ini pun memuat tentang jaminan perlindungan hak asasi manusia, serta asas praduga tidak bersalah,” ujar Fatia, Selasa (8/12/2020).
Ia menambahkan, pihak kepolisian sendiri mengakui sedang melakukan pembuntutan yang berkaitan dengan proses penyelidikan. Di satu sisi, pihak FPI menyatakan bahwa keluarga HRS sedang melakukan perjalanan untuk pengajian rutin keluarga. Di tengah perjalanan, dari kedua belah pihak menyampaikan keterangan yang berbeda atas tewasnya 6 orang tersebut. “Kendati demikian, penembakan yang dilakukan terhadap 6 orang sama sekali tidak dapat dibenarkan,” tukasnya.
Dalam beberapa kasus hasil pemantauan KontraS, kata Fatia, selama tiga bulan terakhir terdapat 29 peristiwa extrajudicial killing atau pembunuhan di luar proses hukum yang mengakibatkan 34 orang tewas.
“Dalam penggunaan senjata api yang mengakibatkan tewasnya seseorang, kami menemukan sejumlah pola, seperti (1) korban diduga melawan aparat, (2) korban hendak kabur dari kejaran polisi. Seringkali alasan tersebut digunakan tanpa mengusut sebuah peristiwa secara transparan dan akuntabel,” papar Fatia.
Dalam konteks kematian 6 orang yang sedang mendampingi HRS, menurutnya anggota kepolisian sewenang-wenang dalam penggunaan senpi karena tidak diiringi dengan membuka akses seterang-terangnya dan justru memonopoli informasi penyebab peristiwa tersebut.
Ia menilai, meskipun di internal Polri sudah berlaku Peraturan Kapolri (Perkap) No. 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian, namun mandat aturan tersebut tidak diterapkan dengan baik.
“Besarnya jumlah korban tewas dalam operasi Polri di atas menunjukkan masih banyak anggota Polri yang tidak menerapkan prinsip nesesitas dan proporsionalitas sebagaimana dimandatkan dalam Pasal 3 Perkap No. 1 Tahun 2009 tersebut maupun Pasal 48 Perkap No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Polri yang mengatur akuntabilitas dan prosedur penggunaan senjata api oleh anggota Polri,” urai Fatia.
Terlebih lagi, menurutnya kesewenang-wenangan terhadap penggunaan senpi oleh anggota Polri pada akhirnya telah mengabaikan hak warga masyarakat atas persamaan di hadapan hukum sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. “Karena faktanya, penembakan itu dilakukan terhadap mereka yang belum tentu terbukti bersalah,” tegas Fatia.
Atas peristiwa kematian 6 orang tersebut, ia menegaskan bahwa KontraS mengindikasikan adanya praktik extrajudicial killing atau unlawful killing dalam peristiwa tersebut.
“Sebab secara kepemilikan senjata, kepolisian pun lebih siap. Penggunaan senpi semestinya memperhatikan prinsip nesesitas, legalitas, dan proporsionalitas. Terlebih lagi berdasarkan UN Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Official, penggunaan senpi hanya diperbolehkan untuk tujuan melumpuhkan bukan membunuh,” beber Fatia.
Dalam konteks kasus ini, lanjut Fatia, KontraS menilai adanya niat untuk melakukan tindakan penembakan tersebut karena sumirnya informasi terkait penyebab peristiwa. Di sisi lain, perlu diingat bahwa pihak kepolisian sedang melakukan pembuntutan yang berkaitan dengan proses penyelidikan demi mendapatkan keterangan, namun yang terjadi justru kontradiktif yakni mengakibatkan melayangnya enam nyawa.
“Berdasarkan itu semua, KontraS mendesak Kapolri melakukan proses hukum secara terbuka dan adil terhadap anggota kepolisian yang terbukti melakukan penembakan terhadap para korban. Selain itu
Kapolri harus memastikan bahwa tidak ada upaya tekanan dan ancaman baik secara fisik maupun psikis terhadap korban yang bertujuan untuk menghentikan proses hukum dan akuntabilitas internal Polri,” tegas Fatia.
Ia menambahkan, KontraS juga meminta Propam Polri harus memeriksa dan mengaudit senjata api dan amunisi secara berkala yang digunakan oleh anggota kepolisian yang terlibat dalam proses pembuntutan terhadap HRS itu.
“Komnas HAM dan Kompolnas secara independen harus melakukan pemantauan langsung dan mendalam terhadap peristiwa penembakan ini. Komnas HAM dan Kompolnas juga harus memastikan bahwa rekomendasi-rekomendasi yang dikeluarkan nantinya akan memiliki tekanan pada proses hukum yang berjalan serta memenuhi hak-hak dari korban penembakan.
Sedangkan Ombudsman RI turut melakukan investigasi terkait dengan dugaan maladministrasi dalam proses penyelidikan yang menyebabkan tewasnya 6 orang tersebut,” pungkas Fatia.