Gempita.co – Tempe dan tahu kembali sulit ditemukan di pasar. Tak hanya penjual gorengan, para penyuka makanan asli Indonesia ini dibuat pusing saat tak lagi tersedia di meja makan.
Dilansir Gempita.co dari CNBC Indonesia, Senin (21/2/2022), salah satu penyebabnya adalah reformasi peternakan babi di China. Setidaknya, begitu penjelasan Kementerian Perdagangan (Kemendag) terkait masih terus tingginya harga kedelai.
Indonesia yang bergantung 80-90% pasokan kedelai impor, tentu saja terkena imbasnya langsung. Terutama, perajin tahu dan tempe di Tanah Air, yang membutuhkan sekitar 3 juta ton kedelai setiap tahunnya.
Lonjakan harga kedelai bahkan membuat perajin tahu dan tempe bersiap melakukan aksi mogok produksi. Mereka meminta izin pemerintah untuk menaikkan harga jual agar tidak diprotes konsumen.
China dilaporkan melakukan reformasi peternakan babi setelah hancur akibat wabah demam babi Afrika di kisaran pertengahan tahun 2018 dan meluas di seluruh China di tahun 2019. Wabah itu bahkan menyerang peternakan babi di dalam negeri.
Perombakan itu diperkirakan membutuhkan banyak pasokan kedelai, salah satu bahan baku pakan ternak.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Oke Nurwan memperkirakan, pada tahun lalu pihak memperkirakan produksi kedelai di Argentina dan Brasil akan meningkat. Namun, proyeksi itu diperkirakan akan meleset.
“Nah begitu reformasi peternakan babi dibikin, SOP yang bagus maka butuh kedelai banyak untuk pakan babi. Sehingga, China ini memborong kedelainya,” kata Oke Nurwan, dikutip dari Detikfinance, Minggu (20/2/2022).
“China beralih ke Amerika diborong. Kedelai kita itu untuk tahu tempe biasanya dari Amerika. Karena diborong harga melonjak, ditambah pandemi,” ungkapnya.