Jakarta, Gempita.co – Jumlah perokok anak di Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada 2018, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar Nasional, jumlah perokok anak usia 10-18 tahun meningkat mencapai 9,1% atau sama dengan 7,8 juta anak. Padahal RPJMN (Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional) menargetkan pada tahun 2019 prevalensi perokok anak harus turun menjadi 5,4%.
Di sisi lain rokok elektronik juga sudah menyerbu pasar Indonesia, dan mulai digandrungi anak dan remaja. Prevalensi perokok elektrik penduduk usia 10-18 tahun mengalami kenaikan pesat. Dari 1,2 persen pada 2016 (Sirkesnas 2016) menjadi 10,9 persen pada 2018 (Data Riset Kesehatan Dasar/Riskesdas 2018).
Lisda Sundari, Ketua Lentera Anak, menyebutkan persoalan perokok anak belum selesai, dan bahkan semakin memburuk. “Jika pada 10 tahun lalu kita dikejutkan dengan fenomena balita berusia dua tahun merokok, saat ini bermunculan balita – balita lain yang mengisap rokok elektrik,” tegas Lisda.
Salah satu penyebab tingginya jumlah perokok anak, kata Lisda, karena industri rokok sangat gencar menyasar anak muda sebagai target pemasaran produknya dengan melakukan berbagai kegiatan manipulatif melalui iklan, promosi, sponsor, kegiatan CSR, informasi misleading dan produk-produk baru. Sementara di sisi lain peraturan dan perlindungan kepada anak dan remaja masih sangat lemah.
“Industri rokok sangat berkepentingan terhadap anak muda untuk menjamin keberlangsungan bisnis mereka, karena mereka berpotensi menggantikan para perokok senior yang sudah meninggal atau berhenti merokok,” kata Lisda.
Sebab setiap tahun industri rokok kehilangan 240.618 pelanggan setianya karena meninggal dunia! Angka ini setara dengan 668 orang setiap harinya. “Perokok remaja adalah satu-satunya sumber perokok pengganti. Jika para remaja tidak merokok maka industry akan bangkrut sebagaimana sebuah masyarakat yang tidak melahirkan generasi penerus akan punah” (R.J Reynolds Tobacco Company Memo Internal, 29 Februari 1984)
Lisda menjelaskan selama berpuluh tahun industri rokok gencar menayangkan iklan rokok yang mengandung pesan manipulatif di berbagai media, seperti elektronik, cetak, billboard, spanduk, dan sebagainya. Iklan rokok dibuat kreatif dan menarik, serta dikemas dengan sangat halus dan terselubung sehingga perlahan tapi pasti tanpa disadari merasuki alam bawah sadar anak muda, sehingga mematikan daya kritis anak muda terhadap industri rokok dan produknya.
Namun di era post-truth saat ini, jelas Lisda, industri rokok di seluruh dunia semakin kreatif memanipulasi anak muda melalui cara-cara baru dengan menggunakan media sosial, influencer anak muda, penggunaan konten film serial beradegan merokok (Netflix, Iflix, Viu), membangun komunitas anak muda dan menggunakan native advertisement (membuat artikel pesanan yang bermuatan promosi rokok).
Begitu pula dalam mempromosikan rokok elektrik, industri rokok agresif menarik perokok pemula anak dan remaja dengan membuat variasi aneka rasa yakni manis, mint, dan buah-buahan. Mereka juga bersiasat menjual rasa aman dalam mempromosikan rokok elektrik. Salah satunya dengan menyampaikan bahwa rokok elektrik 95 persen lebih aman bagi kesehatan dibandingkan rokok biasa. Tidak jarang rokok elektrik diposisikan sebagai cara efektif untuk berhenti merokok, sehingga banyak anak muda memilih berpindah dari rokok tembakau kepada rokok elektrik dengan alasan lebih aman, padahal rokok elektrik mengandung zat-zat kimia berbahaya yang sama banyaknya dengan rokok tembakau dan berpotensi menyebabkan penyakit kronis.
Lisda sangat mengkhawatirkan dampak manipulasi industri rokok terhadap tumpulnya sikap kritis anak muda. “Iklan rokok yang kreatif dan menampilkan tema keberanian atau petualangan justru membuat anak muda semakin ingin mencoba merokok. Para influencer yang permisif terhadap rokok berpotensi menanamkan kesadaran di benak para followernya bahwa rokok itu produk yang baik dan normal,” kata Lisda.
Ia menjelaskan, setiap tanggal 31 Mei Badan Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan tema khusus untuk memperingati Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS). Tahun ini, tema HTTS adalah “Lindungi Kaum Muda dari Manipulasi Industri dan Cegah dari Konsumsi Rokok dan Nikotin”. Menurut Lisda, tema ini sangat sesuai dengan kondisi Indonesia, dimana anak muda harus berjuang sendirian menghadapi jebakan manipulatif industri rokok yang begitu leluasa melakukan berbagai kegiatan iklan, promosi, sponsor, kegiatan CSR, informasi misleading, dan produk-produk baru.
“Kondisi ini tidak bisa terus menerus dibiarkan. Pemerintah harus hadir untuk melindungi anak muda dari target pemasaran rokok dengan membuat regulasi yang lebih kuat,” tegas Lisda. Ia mengajak seluruh elemen masyarakat aktif mengedukasi anak muda tentang pentingnya memahami siasat manipulasi industri rokok menjebak anak muda menjadi perokok dalam berbagai bentuk strategi pemasarannya. “Saya mengajak kita semua memiliki kepedulian yang tinggi untuk melindungi anak Indonesia dari pengaruh buruk yang dapat membahayakan kesehatan dan masa depan mereka,” tambahnya.
Kepada seluruh anak muda di Indonesia Lisda mengajak mereka sadar bahwa anak muda adalah target industri rokok. “Karena itu saya mengajak anak muda tetap kritis, berpikir jernih dan tidak silau dengan berbagai jebakan industri rokok, serta berani menyuarakan penolakan terhadap manipulasi industri rokok dalam berbagai bentuknya,” pungkas Lisda.