JAKARTA, Gempita.co– Industri 4.0 menuntut setiap tenaga kerja untuk memiliki ilmu pengetahuan dan keterampilan agar dapat bertahan di tengah tingginya persaingan. Menjawab tantangan ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM) menyusun peta okupasi nasional sektor kelautan dan perikanan. Peta okupasi ini diluncurkan langsung oleh Kepala BRSDM, Sjarief Widjaja di Kota Bogor, Jumat (13/11).
Peta okupasi nasional ini disusun sebagai kerangka acuan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) pada bidang kelautan dan bidang perikanan. Penyusunannya dilakukan bersama dengan para _stakeholders_ terkait, yaitu asosiasi industri, asosiasi profesi, akademisi, dan praktisi di bidang kelautan dan perikanan. Tujuannya menyiapkan strategi bersama untuk menghadapi tantangan kualifikasi SDM terkini.
Pengesahan peta okupasi ini sendiri melibatkan empat lembaga lainnya, yaitu Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas), dan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia.
Peta okupasi ini terdiri dari 251 okupasi atau jenis jabatan dalam proses bisnis kelautan dan perikanan, dimana 126 di antaranya merupakan jenis jabatan di bidang kelautan dan 125 lainnya jenis jabatan bidang perikanan.
Dalam sambutannya, Kepala BRSDM, Sjarief Widjaja menyebut, penyusunan peta okupasi nasional bidang kelautan dan perikanan ini merupakan sebuah upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Adanya peta okupasi akan mengubah pola usaha perikanan dari yang semula suatu kegiatan turun temurun mengikuti orang tua dan nenek moyang menjadi sebuah profesi yang memiliki standardisasi dan dihargai.
“Dulu anak-anak pesisir diajak atau ditawari ikut berangkat melaut tanpa tahu apa yang akan mereka lakukan, tanpa tahu apa risiko yang akan dihadapi, dan tanpa tahu apa hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan. Penyusunan peta okupasi ini akan menjadikan profesi nelayan, pembudidaya ikan, maupun pengolah perikanan ini sebagai profesi yang memiliki kehormatan. Mereka memiliki hak dan kewajiban yang diakui oleh negara,” jelas Sjarief.
Menurut Sjarief, ada dua hal yang harus dilakukan untuk menyusun peta okupasi nasional ini. Pertama, merumuskan semesta masalah seperti struktur ketenagakerjaan di industri perikanan. Misalnya, pada penangkapan ikan, untuk kapal di atas 24 meter atau 30 GT telah ada standar umum dari _International Maritime Organization (IMO)_. Sedangkan untuk pengaturan standarisasi tenaga kerja kapal penangkap ikan di bawah ukuran 24 meter diserahkan kepada yuridiksi masing-masing negara. Namun di Indonesia struktur ketenagakerjaan ini belum diputuskan. Padahal, jumlah kapal dibawah 24 meter di Indonesia mencapai 625.000 unit. Sedangkan yang berukuran di atas itu hanya sekitar 11.000 unit.
Kedua, menyusun _levelling_ (tingkat dan jenis pekerjaan). Hal ini akan menyangkut perbedaan hak dan kewajiban masing-masing pekerja.
Sementara Kepala Pusat Pelatihan dan Penyuluhan Kelautan dan Perikanan (Puslatluh KP), Lilly Aprilya Pregiwati menilai, peta okupasi ini sudah sangat dibutuhkan masyarakat industri, lembaga pendidikan dan pelatihan, maupun lembaga sertifikasi profesi demi menciptakan SDM berdaya saing tinggi.
Lilly menjelaskan, peluncuran peta okupasi bertujuan untuk menyinergikan program dan kegiatan pelatihan, pendidikan, dan penyuluhan kelautan dan perikanan dengan peta okupasi. Selain itu, kegiatan peluncuran juga diselenggarakan sebagai wadah koordinasi dengan _stakeholders_ terkait tindak lanjut penerapannya.
Ia pun berharap, peta okupasi ini dapat memberikan manfaat dalam perencanaan dan pengembangan SDM kelautan dan perikanan, baik di lingkungan pendidikan maupun pelatihan vokasi dalam dunia usaha dan industri.
Direktur Bina Produktivitas Kemnaker, Fahrurozi menyambut baik penyusunan peta okupasi kelautan dan perikanan. Menurutnya, hal ini akan membantu peningkatan kualitas tenaga kerja Indonesia.
Ia memaparkan, sebenarnya keadaan ketenagakerjaan Indonesia sudah mulai menunjukkan tren peningkatan. Pengangguran terbuka Indonesia juga turun hingga di bawah 5 juta. Dengan jumlah pengangguran di bawah 5 juta ini, Indonesia dapat dikategorikan _full employment_. Namun, ketika wabah Covid-19 mulai melanda, tingkat pengangguran kembali meningkat.
Selain status pengangguran, isu lain yang cukup menyita perhatian adalah lebih dari 56% angkatan kerja Indonesia berpendidikan SMP ke bawah. Menurut Rozi, ini akan menjadi hambatan peningkatan daya saing tenaga kerja Indonesia. “Bagaimana kita mendorong _competitiveness_ kita ketika modal SDM kita begitu? Belum lagi tingkat pengangguran, pekerja sektor informal, dan sebagainya,” ucapnya.
Ia juga menyoroti bonus demografi yang diperoleh Indonesia. Usia produktif masyarakat Indonesia lebih dari 50% mulai 2010 lalu. Namun, jika tidak dimanfaatkan dengan baik, bonus demografi ini justru dapat menjadi musibah bagi negara. “Jadi kita akan membekali anak muda yang banyak ini agar mereka dapat berperan aktif sampai kurun waktu 2030,” ujar Rozi.
Terlebih di tengah Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), tenaga kerja luar dengan berbagai keahlian semakin gampang masuk ke Indonesia. Jelas ini akan mempengaruhi kondisi ketenagakerjaan di Indonesia. “Dengan kondisi 56% tenaga kerja berpendidikan SMP ke bawah, jangankan bersaing dengan tenaga kerja luar, bersaing di dalam negeri saja tidak mampu,” lanjut Rozi.
Disamping itu, di tengah revolusi industri 4.0, ada banyak sekali pekerjaan yang hilang, tetapi juga ada banyak pekerjaan baru yang dibutuhkan. Untuk itu ia menyarankan agar KKP menyiapkan strategi pengembangan agar SDM yang ada memiliki _skill_ sesuai pekerjaan baru yang muncul sehingga mereka bisa aktif di pasar tenaga kerja dan bisa berkontribusi terhadap bangsa dan negara.
“Penyelenggaraan pelatihan vokasi harus tetap relevan dan mampu menjawab tantangan penyediaan SDM di Indonesia,” pungkasnya.
Senada, Direktur Ketenagakerjaan Bappenas, Mahatmi Saronto menyampaikan, penyusunan rencana kebutuhan tenaga kerja kelautan dan perikanan juga harus disesuaikan dengan peta okupasi yang dibuat.
Ia juga memberikan masukan untuk perbaikan kualitas SDM. Menurutnya, kebanyakan lulusan pendidikan SMA maupun SMK bahkan belum memiliki keahlian di pasar kerja. Untuk itu ia menilai perlu adanya reformasi besar-besaran pada sistem pendidikan dan pelatihan Indonesia, termasuk penataan terhadap akses pelatihan.
“Saat ini, semakin tinggi tingkat pendidikan memiliki akses terhadap pelatihan yang lebih besar. Sebaliknya, yang pendidikannya semakin rendah justru malah aksesnya semakin sulit. Ini terbalik,” tegas Mahatmi.
Lanjut dia, pengembangan SDM ini terkendala beberapa hal. Pertama, kualitas maupun kuantitas _Technical and Vocational Education and Training (TVET)_ yang masih sangat terbatas. Selain itu, koordinasi antarpemangku kepentingan dinilai masih sangat minim. Informasi pelatihan pun masih terbatas.
Tak kalah penting, keterlibatan swasta dalam kegiatan pendidikan vokasi juga masih minim. “Seharusnya swasta terlibat lebih besar dalam penentuan kebijakan pendidikan vokasi ini. Begini lho yang kami butuhkan. Intervensinya harus lebih kuat. Sedangkan pemerintah lebih sebagai fasilitator,” terangnya.
Ia berpendapat, kedepan pemerintah bersama dunia industri, lembaga pendidikan, dan lembaga sertifikasi harus melanjutkan pengembangan peta okupasi ini dengan menambah cakupannya. “Operasionalisasi peta okupasi yang sudah dibuat dilakukan secepat-cepatnya dan seefektif mungkin sehingga upaya merevolusi sistem pendidikan dapat tercapai,” tegasnya.
Disisi lain, Ketua BNSP, Kunjung Masehat mengatakan, hambatan penyerapan SDM kelautan dan perikanan di dunia kerja terjadi karena tidak adanya _link and match_ antara implementasi sistem pendidikan dan pelatihan di hulu (dunia pendidikan) dengan apa yang dibutuhkan dunia usaha/industri.
Peta okupasi ini menurutnya dapat menjadi gambaran bagi BNSP untuk menyiapkan SDM yang sesuai dengan visi Presiden, yaitu menciptakan SDM unggul. Selain itu, peta okupasi juga dapat mencegah terjadinya kejadian-kejadian rudapaksa dan/atau perbudakan pelaut Indonesia di luar negeri. Jika telah dibekali dengan sertifikasi dan keahlian yang sesuai, pelaut memiliki perlindungan yang berkekuatan hukum karena sertifikasi ini menjadi bukti autentik kemampuan tenaga kerja.
“Mekanisme penilaian sertifikasi selama ini menggunakan angka. Namun sekarang tidak bisa begitu. Jika satu sertifikasi ada 10 jenis kompetensi, maka tenaga kerja harus lulus semuanya,” bebernya.
Dalam kesempatan tersebut, Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia, Yugi Prayanto menyampaikan dukungan terhadap pengembangan SDM kelautan dan perikanan. Menurutnya, pihaknya akan membantu menjembatani SDM yang sudah disertifikasi ke dunia usaha/dunia industri.
“Potensi pekerjaan di industri perikanan masih sangat besar dan terbuka mulai dari aspek teknis hingga level manajerial. Kami siap bantu jembatani tetapi tentu harus terbukti berkualitas dan bagus,” tandasnya.