Gempita.co – Meredupkan sinar matahari demi mengatasi perubahan iklim dengan menggunakan teknologi, ditentang beberapa ilmuwan.
Profesor Universitas Harvard Frank Keutsch kepada The Times mengatakan penggunaan proses dalam skala besar – dikenal sebagai rekayasa geo surya – adalah konsep “menakutkan” yang hanya mungkin dipakai di masa depan jika wilayah signifikan di planet ini menjadi terlalu hangat untuk dihuni.
Terlepas dari kekhawatiran itu, Keutsh memimpin sebuah proyek untuk mempelajari teknologi tersebut, yang bisa dimulai akhir tahun ini.
Secara teori, rekayasa geo surya didasarkan pada gagasan bahwa para ahli bisa mengurangi dampak pemanasan global dengan memantulkan sinar matahari kembali ke luar angkasa menggunakan bahan kimia.
Dalam kasus percobaan Keutsch, bahan kimianya adalah kalsium karbonat, yang pada dasarnya adalah debu kapur.
Jika rencana berjalan lancar, balon di ketinggian akan menyebarkan debu mineral untuk mempelajari kelayakan dan risiko dari rekayasa geo surya.
Prosesnya bukan tanpa kontroversi, karena beberapa ahli telah menyuarakan kekhawatiran bahwa peledakan bahan kimia ke orbit langsung bisa merusak tatanan alam, membuat cuaca sulit diprediksi atau mengancam persediaan makanan penduduk dengan menyebabkan kekeringan.
Untuk saat ini, penelitian di lapangan masih terbatas. Itulah yang ingin diperbaiki oleh proyek Harvard, yang disebut Eksperimen Perturbasi Terkendali Stratosfer atau SCoPEx.
Proyek SCoPEx sebagian didanai oleh Program Penelitian Rekayasa Geo Surya Universitas Harvard (SGRP), yang mencantumkan Bill Gates sebagai salah satu donor filantropisnya.
Menurut Snopes, SCoPEx juga dibiayai oleh Dana untuk Penelitian Iklim dan Energi yang Inovatif (FICER), dana untuk hibah penelitian yang dibuat bersama oleh Gates pada tahun 2007.
David Keith, seorang profesor Universitas Harvard yang juga mempelopori proyek SCoPEx, mengatakan bahra rekayasa geo surya memungkinkan melengkapi metode pengurangan karbon lainnya, namun mencatat bahwa generasi masa depan yang pada akhirnya harus hidup dengan konsekuensi serius.
Sumber: Newsweek/Uzone