Bandung, Gempita.co – Dengan kepemilikan lahan sempit, petani tidak mungkin mampu membangun ketahanan pangan yang menjadi program unggulan pemerintahan Presiden Jokowi. Selain berlahan sempit, petani juga tidak terhubung dengan market. Kondisi tersebut yang akhirnya akan menyuburkan tumbuhnya tengkulak.
Hal itu dipaparkan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Menkop UKM) Teten Masduki dalam acara diskusi bertema Optimalisasi Potensi Sumber Daya Alam Jawa Barat secara Berkelanjutan, yang diselenggarakan Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), di Kota Bandung, Jawa Barat, Jumat (10/9).
Untuk itu, Teten mendorong para petani berlahan sempit untuk mendirikan atau bergabung ke dalam koperasi agar bisa masuk skala ekonomi.
“Saya melihat koperasi bisa menjadi konsolidator para petani berlahan sempit agar masuk skala ekonomi,” kata Teten.
Teten memberi gambaran, untuk komoditas padi, minimal harus memiliki lahan minimal 1.000 hektar. Sedangkan untuk buah-buahan, minimal lahan seluas 400 hektar.
“Model bisnis seperti ini yang akan terus kita bangun,” jelasnya .
Lanjut Teten, kalau hanya program subsidi untuk bibit, pupuk, dan sebagainya, tetapi tidak membangun model bisnisnya, takkan bisa membangun Korporatisasi Petani.
“Menciptakan Corporate Farming harus dengan Korporatisasi Petani. Yang pas untuk melakukan itu, ya koperasi,” imbuh Teten.
Dengan berkoperasi, kata Teten, koperasi yang akan membeli tunai dari petani. Sehingga, tidak ada istilah harga jatuh di saat panen raya.
“Sebagai offtaker, koperasi yang berhubungan dengan pabrikan. Bagi petani, bisnis model seperti ini menciptakan kepastian harga dan pasar,” ulas MenKopUKM.
Teten menambahkan, pihaknya sudah membangun bisnis model di tambak udang Muara Gembong (Bekasi) dan petani pisang di Lampung. Di Muara Gembong bekerja sama dengan BUMN, membangun Korporatisasi Nelayan di atas lahan seluas 100 hektar.
“Sudah ada offtaker dan lembaga pembiayaannya,” ungkapnya.
Sementara di Lampung, terkumpul lahan seluas 400 hektar untuk ditanami pisang. Ada sekitar 1.000 petani menjadi anggota Koperasi Tani Hijau Makmur dan juga sudah ada offtaker-nya. Bahkan, produk pisangnya sudah masuk pasar ekspor, yakni pasar Eropa.
Teten juga mencontohkan koperasi susu di Selandia Baru bernama Fonterra. Di sana, peternak sapi hanya mengurusi produksi susu, sedangkan pemasaran susu menjadi urusan koperasi.
“Bahkan, koperasi memiliki industri pengolahan susu,” kata MenKopUKM.
Bisnis model seperti ini yang akan direplikasi untuk diterapkan di daerah.
“Jadi, Bisnis Model itu memang harus diciptakan,” tegas Teten.
Oleh karena itu, Menkop UKM akan memperkuat kelembagaan koperasi agar mampu menciptakan model bisnis yang saling menguntungkan bersama para petani yang menjadi anggotanya.
“LPDB-KUMKM telah kita beri tugas khusus bagi pembiayaan 100 persen untuk koperasi,” tukasnya.
Bila sudah tercipta bisnis model, Teten meyakini pihak perbankan dan lembaga pembiayaan lainnya tidak akan ragu lagi untuk mengucurkan dana kreditnya. Selama ini, sektor pertanian masih dianggap high risk.
Begitu juga dengan Perhutanan Sosial, di mana dengan kepemilikan perorangan sekitar 2 hektar saja, tidak akan masuk skala ekonomi.
“Pabrikan besar tidak bisa kontrak dengan petani perorangan. Kalau mereka bayar mundur 3 bulan, petani bisa mati,” kata Teten pula.
Program Perhutanan Sosial digulirkan agar masyarakat memiliki akses ke kepemilikan lahan. Saat ini, yang disiapkan pemerintah untuk Perhutanan Sosial sebesar 12,7 juta hektar.
“Kalau lahan seluas itu dipinjamkan ke masyarakat selama 35 tahun, itu bisa memberi akses lahan bagi petani,” tandasnya.
Teten mengakui, kepemilikan lahan di Indonesia sudah sangat timpang. Banyak lahan produksi, termasuk hutan lindung, sudah dikuasai ‘orang kota’.
“Namun, profesi masyarakat pedesaan tetap sebagai petani tak berlahan. Kalau pun punya lahan, kecil-kecil” ungkap Teten.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Koperasi Produksi Mitra Perhutanan Sosial Lodra Mandiri, Acu Sujana, mengatakan bahwa pihaknya banyak melakukan pendampingan bagi para anggotanya yang merupakan petani kopi.
Dengan total lahan seluas 320 hektar yang dikelola sekitar 600 orang anggota, koperasi sudah mampu membangun aneka unit usaha milik anggota. Salah satunya, mendirikan kedai kopi.
“Saat ini, dengan lahan pemberian pemerintah itu, kita juga menanam buah alpukat dan kaweni, selain kopi. Ke depan, kami membutuhkan perkuatan permodalan dari LPDB-KUMKM,” pungkas Acu.