Gempita.co – Kecenderungan ekonomi China yang melambat dan ekonomi Amerika Serikat (AS) yang semakin kuat, menjadi acuan Bank Indonesia dalam mempertahankan ekonomi dalam negeri.
“Perlambatan ekonomi China disebabkan oleh pelemahan permintaan domestik karena keyakinan konsumen, utang rumah tangga, dan permasalahan sektor properti, di tengah penurunan ekspor akibat perlambatan ekonomi global,” jelas Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo dalam konferensi pers, Kamis (21/9/2023), dikutip AsiaToday.
Menurut Perry, kuatnya ekonomi AS didukung oleh konsumsi rumah tangga seiring dengan kenaikan upah dan pemanfaatan ekses tabungan (excess savings). Dalam pada itu, inflasi di negara maju masih tetap tinggi karena berlanjutnya tekanan inflasi jasa, keketatan pasar tenaga kerja, dan meningkatnya harga minyak.
Perkembangan tersebut mendorong tetap tingginya suku bunga kebijakan moneter di negara maju, terutama Federal Funds Rate (FFR) AS, yang mengakibatkan meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global.
“Akibatnya, tekanan aliran modal keluar dan pelemahan nilai tukar di negara berkembang semakin tinggi, sehingga memerlukan penguatan respons kebijakan untuk memitigasi dampak negatif rambatan global tersebut, termasuk di Indonesia,” jelasnya.
Perry menjelaskan pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap baik ditopang oleh permintaan domestik. Konsumsi rumah tangga diprakirakan tumbuh kuat sejalan dengan keyakinan masyarakat yang masih tinggi, termasuk generasi muda yang meningkatkan konsumsi jasa.
“Kinerja investasi tetap baik sejalan dengan berlanjutnya penyelesaian Proyek Strategis Nasional (PSN). Ekspor melambat seiring pelemahan permintaan global dan turunnya harga komoditas, di tengah ekspor jasa yang cukup kuat. Secara sektoral, pertumbuhan ekonomi juga ditopang oleh beberapa lapangan usaha sektor jasa, seperti Perdagangan Besar dan Eceran, Transportasi dan Pergudangan, serta Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum,” jelasnya.