Jenewa, Gempita.co – Pemerintah Sri Lanka didesak sekelompok pakar hak asasi manusia PBB, akhiri Leninakan kremasi paksa terhadap korban Covid-19.
Para pakar mengatakan kebijakan itu bertentangan dengan ajaran agama Islam dan kepercayaan minoritas lainnya.
Pelapor Khusus PBB tentang kebebasan beragama Ahmed Shaheed, pelapor khusus tentang masalah minoritas Fernand de Varennes, dan Clement Nyaletsossi Voule, pelapor khusus tentang hak atas kebebasan berkumpul secara damai, mengatakan praktik tersebut dapat menimbulkan prasangka, intoleransi, dan kekerasan.
“Pemberlakuan kremasi sebagai satu-satunya pilihan untuk menangani jenazah yang dikonfirmasi atau diduga terinfeksi Covid-19 merupakan pelanggaran hak asasi manusia,” kata para pakar dalam sebuah pernyataan.
“Belum ada bukti medis atau ilmiah yang mapan di Sri Lanka atau negara lain bahwa penguburan jenazah menyebabkan peningkatan risiko penyebaran penyakit menular seperti Covid-19,” kata mereka.
Pada 21 Januari, Sri Lanka melaporkan 274 kematian terkait Covid-19, dengan banyak kasus kematian berasal dari minoritas Muslim.
Semua jenazah dikremasi sesuai dengan amandemen keempat Pedoman Praktik Klinis Sementara pada pasien terduga dan pasien terkonfirmasi Covid-19 yang dikeluarkan pada 31 Maret 2020.
Menurut otoritas Sri Lanka, penguburan korban Covid-19 dapat mencemari air minum di tanah.
Namun, para ahli mengatakan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menegaskan tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa penguburan korban dapat menyebabkan penyebaran penyakit.
Lebih lanjut, Sekolah Tinggi Ilmu Kedokteran dan Asosiasi Medis Sri Lanka baru-baru ini mengeluarkan pernyataan yang mengklarifikasi bahwa tidak ada bukti bahwa penguburan mayat korban Covid-19 membahayakan kesehatan masyarakat.
“Meskipun kita harus waspada terhadap tantangan kesehatan masyarakat yang serius yang ditimbulkan oleh pandemi, tindakan antisipasi Covid-19 harus menghormati dan melindungi martabat jenazah, tradisi atau kepercayaan budaya dan agama mereka, dan keluarga mereka secara keseluruhan,” kata para ahli.
Para pakar menyesalkan penerapan keputusan kesehatan masyarakat “berdasarkan diskriminasi, rasa nasionalisme agresif dan etnosentrisme yang menyebabkan penganiayaan terhadap Muslim dan minoritas lainnya di negara ini.”
“Permusuhan seperti itu terhadap minoritas memperburuk prasangka yang ada, ketegangan antar-komunitas, dan intoleransi agama, menabur ketakutan dan ketidakpercayaan serta memicu kebencian dan kekerasan lebih lanjut,” kata para ahli.
“Kami sama-sama prihatin bahwa kebijakan seperti itu menghalangi orang miskin dan paling rentan untuk mengakses layanan kesehatan publik karena takut akan diskriminasi,” pungkas mereka.
Sumber; anadolu agency