Jakarta, Gempita.co – Menko Polhukam, Mahfud MD, menilai Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat menanggapi soal putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat yang memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunda tahapan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Mahfud MD menilai PN Jakarta Pusat telah membuat sensasi yang berlebihan.
“Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat membuat sensasi yang berlebihan. Masak, KPU divonis kalah atas gugatan sebuah partai dalam perkara perdata oleh PN. Bahwa vonis itu salah, logikanya sederhana, mudah dipatahkan tapi vonis ini bisa memancing kontroversi yang bisa mengganggu konsentrasi. Bisa saja nanti ada yang mempolitisir seakan-akan putusan itu benar,” tulis Mahfud melalui akun Instagram @mohmahfudmd, dilansir Gempita.co, Jumat (3/2/2023).
Mahfud mengajak KPU banding dan melawan habis-habisan secara hukum. Menurutnya, secara logika hukum pastilah KPU menang, karena PN tidak punya wewenang untuk membuat vonis tersebut.
“Alasan hukumnya begini, sengketa terkait proses, administrasi, dan hasil pemilu itu diatur tersendiri dalam hukum. Kompetensi atas sengketa pemilu bukan di Pengadilan Negeri. Sengketa sebelum pencoblosan jika terkait proses administrasi yang memutus harus Bawaslu, tapi jika soal keputusan kepesertaan paling jauh hanya bisa digugat ke PTUN,” ujarnya.
“Nah Partai Prima sudah kalah sengketa di Bawaslu dan sudah kalah di PTUN. Itulah penyelesaian sengketa administrasi jika terjadi sebelum pemungutan suara. Adapun jika terjadi sengketa setelah pemungutan suara atau sengketa hasil pemilu, maka menjadi kompetensi Mahkamah Konstitusi (MK). Itu pakemnya,” sambung Ketua MK periode 2008–2013 itu.
Mahfud menyatakan tak ada kompetensinya Pengadilan Umum. Perbuatan Melawan Hukum secara perdata tak bisa dijadikan obyek terhadap KPU dalam pelaksanaan pemilu.
Kemudian, lanjutnya, hukuman penundaan pemilu atau semua prosesnya tidak bisa dijatuhkan oleh PN sebagai kasus perdata. Tidak ada hukuman penundaan pemilu yang bisa ditetapkan oleh PN. Menurut UU penundaan pemungutan suara dalam pemilu hanya bisa diberlakukan oleh KPU untuk daerah-daerah tertentu yang bermasalah sebagai alasan spesifik, bukan untuk seluruh Indonesia.
Ia mencontohkan di daerah yang sedang ditimpa bencana alam sehingga menyebabkan pemungutan suara tak bisa dilakukan. Itu pun bukan berdasar vonis pengadilan, tetapi menjadi wewenang KPU untuk menentukannya sampai waktu tertentu.
“Menurut saya, vonis PN tersebut tak bisa dimintakan eksekusi. Harus dilawan secara hukum dan rakyat bisa menolak secara masif jika akan dieksekusi. Mengapa? Karena hak melakukan pemilu itu bukan hak perdata KPU,” katanya.
Ia kembali menegaskan, penundaan pemilu hanya karena gugatan perdata parpol bukan hanya bertententang dengan UU tetapi juga bertentangan dengan konstitusi yang telah menetapkan pemilu dilaksanakan 5 tahun sekali.
“Kita harus melawan secara hukum vonis ini. Ini soal mudah, tetapi kita harus mengimbangi kontroversi atau kegaduhan yang mungkin timbul,” pungkas pria kelahiran Madura peraih gelar doktor bidang Ilmu Hukum Tata Negara pada program Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada (UGM) itu.