Penelitian Universitas Havard, Kematian Terbanyak Covid-19 Akibat Polusi Udara

Jakarta, Gempita.co – Polusi udara memicu kematian paling banyak akibat Covid -19. Demikian temuan para peneliti dari Harvard University.

Ada bukti keterkaitan yang cukup kuat antara tingkat udara kotor dengan kematian akibat Covid-19. Udara kotor harus dianggap sebagai faktor kunci dalam menangani pandemi, kendati penelitian lebih lanjut masih perlu dilakukan.

Bacaan Lainnya
Gempita Bali Transport

Sebagian besar ilmuwan memandang sangat mungkin polusi udara meningkatkan jumlah keparahan kasus Covid-19. Menghirup udara kotor selama bertahun-tahun telah menyebabkan penyakit jantung dan paru-paru, yang memperburuk infeksi virus corona.

Metode standar untuk mengkonfirmasi hubungan antara polusi udara dan Covid-19 adalah dengan menilai sejumlah besar pasien Covid-19 pada tingkat individu, usia, riwayat merokok, dan detail lainnya yang dapat diperhitungkan.

Menurut Francesca Dominici, peneliti dari Harvard University, saat ini ada ratusan studi tingkat kelompok yang telah dilakukan terkait dengan tema ini, kendati sebagian besar belum dilakukan peninjauan.

Dia mengatakan, ada cukup bukti untuk segera mengambil tindakan. “Tim sudah memiliki banyak bukti tentang efek merugikan kesehatan dari polusi partikel halus sehingga perlu penerapan aturan yang lebih ketat,” jelasnya dikutip dari The Guardian, Kamis (5/11/2020).

Studi lainnya yang diterbitkan dalam jurnal Cardiovascular Research menggunakan data polusi udara global dan penelitian Harvard, untuk memperkirakan proporsi kematian akibat Covid-19 yang disebabkan oleh paparan jangka panjang terhadap partikel halus.

Mereka menyimpulkan bahwa 15 persen kematian di seluruh dunia mungkin disebabkan oleh kerusakan akibat udara kotor pada jantung dan paru-paru. Ini setara dengan 180.000 kematian dari total 1,2 juta kasus kematian akibat coronaviorus baru.

Tim juga membuat perkiraan untuk negara-negara tertentu terkait kematian kasus Covid-19 akibat polusi udara. China dengan angka 27 persen, Jerman sebesar 26 persen, Amerika Serikat 18 persen, dan Inggris dengan persentase 14 persen. Mereka menyebut studi lanjutan diperlukan pada individu untuk mengkonfirmasi hasil.

Sumber The Guardian.co.uk

Pos terkait

Iklan Layanan Masyarakat Kemenkumham Bali