Jakarta, Gempita.co – Utang Pemerintah Naik Rp136,92 triliun dari posisi Rp5.910,64 triliun di November, menjadi Rp6.074,56 triliun di bulan Desember 2020.
Dengan demikian, rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) mencapai 38,68%.
Meski begitu, menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, posisi Indonesia masih relatif cukup hati-hati dengan rasio utang 38,68% tersebut.
“Kita perkirakan (utang) akan mendekati 40% dari PDB namun sekali lagi Indonesia masih relatif dalam posisi yang cukup hati-hati atau prudent,” kata Sri Mulyani dikutip dari Antara, Selasa (16/2/2021).
Pasalnya, rasio utang pemerintah di negara-negara lain terhadap PDB jauh lebih besar ketimbang Indonesia. Bahkan, ada beberapa negara yang rasio utang pemerintahnya melampaui PDB.
Misalnya untuk negara maju yakni Amerika Serikat (AS) sekitar 103%, dan Prancis lebih 118%. Lalu, beberapa negara maju lainnya juga memiliki rasio utang yang cukup besar terhadap PDB seperti Jerman 72%, China hampir 66%, dan India mendekati 90%.
Lalu untuk negara-negara di ASEAN seperti Thailand 50%, Filipina 54,8%, Malaysia 66%, dan Singapura yang melampaui PDB yakni 131%.
Selain itu, menurut Sri Mulyani, pemerintah mengutamakan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan kebijakan, sehingga kontraksi ekonominya cukup moderat. Lalu, defisit APBN 2020 6,09% jauh lebih kecil dibandingkan negara lain yang di atas 10% seperti AS yang mendekati 15%, dan Prancis 10,8%.
“Ini artinya apa? Negara-negara ini hanya dalam satu tahun utang negaranya melonjak lebih dari 10%, sementara Indonesia tetap bisa terjaga di kisaran 6%,” jelas Sri Mulyani.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan dari konferensi pers APBN KiTa pada 18 Januari lalu, porsi utang pemerintah terdiri dari surat berharga negara (SBN) Rp 5.221,65 triliun dan pinjaman Rp 852,91 triliun.
Jika dilihat lebih rinci lagi, SBN dari domestik terdiri dari surat utang negara Rp 3.303,78 dan surat berharga syariah negara Rp 721,84 triliun. Lalu, ada valas di surat utang negara Rp 946,37 triliun dan surat berharga syariah negara Rp 249,66 triliun. Sementara, utang pemerintah dari pinjaman, rinciannya bilateral Rp 333,76, multilateral Rp 464,21 triliun, dan commercial banks Rp 42,97 triliun.
Menanggapi hal itu, Ekonom dari Institutefor Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai, angka utang pemerintah sudah hampir lampu merah apabila dilihat dari kemampuan bayar utang atau debt service ratio (DSR).
“Kriteria utang terhadap PDB juga perlu diperdalam dengan indikator DSR, di mana DSR tier I Indonesia terus naik melebihi 25%, padahal negara seperti Filipina cuma 9.7%, Thailand 8% dan Meksiko 12.3%. Dengan melihat perbandingan DSR maka bisa dikatakan utang sudah jadi beban dan kemampuan bayar berkurang. Ini bisa dikatakan lampu kuning sudah hampir lampu merah,” kata Bhima ketika dihubungi detikcom.
Di sisi lain, menurutnya rasio utang pemerintah terhadap PDB tidak bisa dibandingkan dengan negara-negara maju seperti AS, Prancis, Jerman, Singapura, dan sebagainya.
“Ini ibarat mobil esemka dibandingkan dengan pesawat airbus ya jadi tidak apple to apple. Apalagi posisi Indonesia turun kelas menjadi negara berpendapatan menengah ke bawah. Indonesia cocoknya dibandingkan dengan sesama negara berkembang,” tegas Bhima.
Bhima menilai, dari porsi utang pemerintah lebih besar dialokasikan untuk belanja pegawai dan belanja barang. Hal itu menurutnya akan menurunkan produktivitas.
“Kalau beban utang terus meningkat, sementara belanja di sektor produktifnya kalah dengan belanja birokrasi seperti belanja pegawai dan belanja barang maka kasian pemerintahan ke depan karena harus cari penerimaan lebih besar dan terbitkan utang baru. Utang yang bertambah namun produktivitas turun namanya kasih beban ke generasi masa depan, generasi milenial dan generasi Z,” urainya.
Sumber: berbagai sumber