Gempita.co – Tiga pekan terakhir, Detasemen Khusus 88 Antiteror Kepolisian Republik Indonesia (Polri) telah menangkap 21 tersangka teroris.
Mereka terdiri dari lima tersangka teroris terkait jaringan ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) dan 16 lainnya adalah bagian dari jaringan Negara Islam Indonesia (NII).
Kelima tersangka yang diduga pendukung ISIS ini bukan bagian dari Jamaah Ansharud Daulah (JAD). Mereka bergerak di media sosial dan ditangkap dalam serangkaian operasi sejak 9-15 Maret lalu di Kendal, Jakarta Barat, Lampung dan Tangerang Selatan. Sedangkan 16 teroris lainnya dibekuk Jumat (25/3) pekan lalu di dua daerah di Sumatera Barat, yakni Dharmasraya dan Tanah Datar.
Menanggapi perkembangan tersebut, Al Chaidar, pengamat terorisme dari Universitas Malikussaleh Aceh, pada Selasa (29/3), membantah keterangan polisi yang menyatakan 16 tersangka teroris yang ditangkap Jumat pekan lalu di Sumatera Barat adalah dari jaringan NII.
Menurut pengamatannya, di wilayah Dharmasraya dan Tanah Datar tidak ada NII, yang ada hanyalah JAD.
Dia mengatakan jaringan NII itu berada di Padang, Bukit Tinggi dan Agam.
“Mungkin polisi hanya sekadar menangkap mereka dan kemudian mendengarkan pengakuan mereka. Karena mereka bisa saja mengakunya berbeda, dalam pengertian mungkin dia pernah mengikuti NII dulunya kemudian keluar dari situ dan masuk ke JAD. Setelah tertangkap, mereka nggak mau sebutkan JAD nya, yang disebut NII-nya,” ujar Al Chaidar.
Al Chaidar menambahkan dirinya sudah mengecek langsung pada sumber-sumber jaringan NII di Sumatera Barat, yang memastikan bahwa 16 orang yang ditangkap itu bukan dari NII, namun bagian dari jaringan JAD.
Menurutnya, jaringan NII di Indonesia – yang terdiri dari 14 faksi dan tersebar di 18 provinsi – masih ada, tetapi mereka dilarang untuk melakukan serangan teror. “Sampai sekarang belum keluar perintah bagi NII untuk berperang,” papar Al Chaidar. NII biasanya melakukan perang gerilya dan mereka dilarang membunuh masyarakat sipil, tambahnya.
Al Chaidar memperingatkan jaringan ISIS dan Al-Qaeda di Indonesia sedang menunggu momentum yang tepat untuk melancarkan serangan teror.
Sumber: voa