Istanbul, Gempita.co – Pakar hubungan Asia dari Turki mengatakan intervensi asing dan permainan kekuatan Amerika Serikat-China mencegah konsolidasi demokrasi di Myanmar dan membuat negara itu rentan terhadap kudeta militer.
Seyfettin Erol, pakar senior di Pusat Krisis dan Studi Kebijakan Ankara (ANKASAM), berpendapat bahwa persaingan Amerika-China di Lingkar Asia-Pasifik adalah alasan utama di balik kudeta militer baru-baru ini di Myanmar.
“Kudeta militer adalah unjuk kekuatan melawan AS dan beberapa negara Barat lainnya. Di sisi lain, reaksi Gedung Putih terhadap kudeta lebih berkaitan dengan kehilangan posisi yang signifikan daripada mengkhawatirkan keadaan demokrasi atau hak asasi manusia di Myanmar,” kata Erol, Selasa (2/2/2021).
Dia menambahkan bahwa kudeta tersebut mengungkap pengaruh China di Myanmar dan Asia-Pasifik secara umum.
“Melalui pelabuhan yang dibangun di Myanmar, China telah mampu melewati Selat Malaka dan mengakses Samudera Hindia. Mempertahankan pengaruhnya di negara itu terhadap kekuatan lain, termasuk Amerika dan India, memungkinkan China menjadi pemain utama di kawasan Asia-Pasifik yang lebih luas,” ujar dia.
Erol juga memperingatkan bahwa etnis dan agama minoritas di Myanmar, terutama Muslim Rohingya, dapat digunakan untuk menekan rezim militer negara dan China, dan ini dapat menyebabkan eskalasi kebijakan penindasan.
Hayati Unlu, seorang pakar hubungan Asia, setuju bahwa persaingan strategis antara AS dan China di Asia-Pasifik dan pentingnya Myanmar dalam konteks ini adalah kunci untuk memahami kudeta militer.
“Myanmar adalah bagian penting dari ambisi global China karena lokasinya,” ungkap dia.
Nazmul Islam, seorang pakar kawasan, mengatakan dia memperkirakan lebih banyak pertumpahan darah dan kekacauan di Myanmar sebagai akibat dari kudeta militer.
“Kemungkinan besar, militer akan menekan minoritas, termasuk Muslim Rohingya, lebih jauh lagi untuk tetap populer. Ini akan menunda kembali ke normalisasi dan menyebabkan lebih banyak bentrokan,” kata dia.
Militer Myanmar, yang secara resmi dikenal sebagai Tatmadaw, mengumumkan keadaan darurat pada Senin, beberapa jam setelah menahan pemimpin de facto negara itu, Penasihat Negara Aung San Suu Kyi dan anggota senior lainnya dari partai berkuasa Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD).
Suu Kyi menjabat sebagai Penasihat Negara Myanmar dari 2016 hingga 2021 setelah perjuangan panjang untuk demokrasi yang membuatnya mendapatkan Hadiah Nobel Perdamaian pada 1991.
Namun sikap diamnya atas pembantaian Muslim Rohingya dan pembelaan atas genosida militer di pengadilan internasional menuai kritik pedas di seluruh dunia.
Kudeta terjadi beberapa jam sebelum sesi pertama parlemen baru negara itu dijadwalkan untuk bersidang menyusul pemilu November lalu di mana partai NLD Suu Kyi memperoleh keuntungan besar.
Militer mengklaim kudeta itu dilakukan karena “kecurangan pemilu” dalam jajak pendapat, yang dianggap mengakibatkan dominasi NLD di parlemen.
Sumber: anadolu agency