Jakarta, Gempita.co. – Baru-baru ini 4 pengungsi asal Afghanistan di Pekanbaru, Riau, melakukan aksi jahit mulut sebagai bentuk protes terhadap UNHCR karena tak memiliki kepastian diberangkatkan ke negara ketiga.
Pendiri Solidarity Indonesia for Refugee (SIR), Ali Yusuf, menilai UNHCR tidak serius mengatasi masalah pengungsi yang saat ini sedang transit di Indonesia menuju negara ketiga. Akibatnya, banyak para pengungsi yang mengalami depresi.
“Bukti UNHCR tidak serius mengatasi persoalan ini dari banyaknya warga internasional di Indonesia yang sedang mencari suaka dan pengungsi depresi,” katanya.
Ali menjelaskan, beberapa bentuk protes yang dilakukan para pengungsi asal Afghanistan adalah aksi jahit mulut di Pekanbaru dan aksi bakar diri di Kota Medan. Bentuk protes lain yang dilakukan para pengungsi adalah menginap di depan kantor UNHCR yang ada di Indonesia.
“Fakta di lapangan UNHCR kurang respons terhadap nasib pengungsi di Indonesia. Salah satu buktinya mereka tidak difasilitasi ketika ingin berkomunikasi dengan UNHCR,” ujarnya.
Menurut Ali, apabila UNHCR memfasilitasi keluhan para pengungsi, aksi bakar diri dan jahit mulut tidak akan terjadi.
“UNHCR segera respons aksi mereka agar tidak terjadi yang membahayakan para pengungsi. Jangan sampai keterlambatan mereka menemui para pengungsi yang sedang aksi jahit mulut dapat melukainya, bahkan bisa menghilangkan nyawanya,” ujarnya.
“Atas nama kemanusiaan UNHCR tolong temui mereka. Jelaskan bahwa UNHCR sedang mencarikan solusi untuk mereka,” Ali menambahkan.
Menurut Ali, aksi-aksi yang dilakukan pengungsi di berbagai daerah di Indonesia telah mencoreng nama baik pemerintah Indonesia.
“Dunia akan menilai Indonesia abai terhadap warga internasional. Sebagai bentuk kepedulian negara kita, Presiden Jokowi telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri,” ucapnya.
Salah satu pengungsi Afghanistan yang ada di Pekanbaru, Nazir Hussain, mengatakan empat rekannya yang menjahit mulutnya itu yakni Abdul latif Akhlaqi, Boman Ali, Nauroz Ali dan Khodadad Gholami.
“Empat orang ini menjahit mulutnya setelah UNHCR tidak memperhatikan situasi dan perjuangan mereka sebagai pengungsi di Indonesia. Mereka telah menunggu untuk direlokasi dari Indonesia selama hampir satu dekade. Namun belum ada perkembangan atau kemajuan dalam proses tersebut,” katanya.
Saat ini keempat pengungsi itu telah membuka jahitan di mulut mereka setelah rekan-rekan mereka meminta untuk menghentikan aksi berbahaya tersebut.
“Empat orang ini bersama pengungsi lainnya telah melakukan berdiam diri di depan kantor UNHCR di Pekanbaru selama 22 hari. Tapi tidak ada yang memperhatikan sehingga mereka menjahit bibirnya,” ungkap Nazir.
Nazir pun berharap agar mereka segera diberangkatkan ke negara ketiga. Pasalnya, mereka telah berada di Indonesia selama tujuh hingga sembilan tahun tanpa kepastian masa depan.
“Kami ingin dipindahkan dan memulai hidup baru seperti orang normal. Kami ingin berkumpul dengan keluarga. Kami belum melihat keluarga selama hampir satu dekade,” pungkasnya.
Sementara itu, Dwi Prafitria, dari Divisi Hubungan Masyarakat UNHCR Indonesia, mengatakan pihaknya sangat prihatin dengan situasi di Pekanbaru. UNHCR memahami dan bersimpati terhadap rasa frutasi para pengungsi.
“Kami terus menasihati mereka untuk tidak melakukan tindakan yang mencederai diri. Staf UNHCR berkomunikasi dengan para pengungsi dan berkoordinasi dengan pihak lain di lapangan untuk memastikan bahwa situasi ditangani dan diselesaikan,” kata Dwi dalam keterangan resmi tertulisnya.
Terkait dengan permintaan para pengungsi untuk diberangkatkan ke negara ketiga, menurut Dwi, pada kenyataannya 20 negara relasi hanya akan menerima kurang dari 1,5 persen dari 26 juta pengungsi di dunia. Banyak dari negara-negara ketiga mengurangi kuota relokasi mereka selama beberapa tahun terakhir karena berbagai alasan.
“Mereka hanya menerima pengungsi yang paling rentan. Kondisi ini berdampak negatif terhadap potensi relokasi bagi pengungsi di seluruh dunia, termasuk di Indonesia,” pungkasnya.
Sumber: voa