Jakarta, Gempita.co – Tidak semua siswa menganggap belajar online terasa mudah, namun ada juga kisah perjuangan para siswa yang kesulitan mengikuti sistem belajar online.
Masalahnya macam-macam, seperti keterbatasan dana untuk membeli kuota, kesulitan sinyal, hingga tak punya ponsel.
Seperti yang terjadi di lereng pegunungan Nagori Siporkas, Kecamatan Raya, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, demi mendapatkan sinyal internet yang bagus, para siswa harus bersusah payah memanjat pohon dan bukit agar tak ketinggalan mengikuti materi pembelajaran.
“Di tempat itu jangankan internet, menelepon saja susah,” ujar Kepala Desa Nagori Siporkas, Hendra Putra.
Hendra mengatakan, letak geografis wilayah yang dikelilingi perbukitan menyebabkan sinyal sulit masuk ke tiga dusun itu. Dia pun sudah melaporkan kondisi ini ke kecamatan namun hingga kini belum ada solusi.
“Karena kendala ini, para siswa ini belajar naik ke atas pohon agar mendapatkan sinyal, semenjak belajar daring,” ujarnya.
Kondisi serupa juga dialami para siswa dan mahasiswa di Tana Toraja, Sulawesi Selatan.
Mereka harus naik Bukit Tado Puang Bayo, di Lembang Sesesalu, Kecamatan Masanda, untuk mencari jaringan internet demi bisa belajar online. Kecamatan tersebut berjarak 35 kilometer dari Ibu Kota Tana Toraja, Makale.
“Kami berharap pemerintah dapat memperhatikan kami yang juga terdampak pandemi COVID-19,” ujar Mardia, salah satu mahasiswa dari UKI Toraja.
Hal serupa terjadi di Jorong Sungai Guntuan, Nagari Pasiah Laweh, Kecamatan Palupun, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, juga mengalami hal yang sama. Setiap hari mereka harus ke area yang disebut sebagai Kelok Handphone.
Sebab hanya di titik itulah mereka bisa mendapat sinyal cukup bagus. “Setidaknya setiap hari ada sampai 50 anak yang ke Kelok Hp guna mendapatkan sinyal untuk pembelajaran dalam jaringan. Biasanya sejak pukul 8.00 sampai 11.00 WIB atau sampai tugas mereka selesai,” ungkap Mahyudanil Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) setempat kepada wartawan.
Pinjam HP Tetangga
Selama penerapan sistem belajar online, setiap pagi Sri Ageng Wiliantoro (Wili) dan Sri Ageng Widiantoro (Widi), harus pergi ke rumah tetangga untuk pinjam HP. Wili dan Widi, begitu biasa mereka dipanggil, saat ini tinggal bersama dengan ibu mereka, Suparmi (47) di daerah Duri Kepa, Kebon Jeruk, Jakarta Barat.
Suparmi sudah berpisah dengan sang suami karena kerap menjadi korban KDRT dan juga jarang diberi nafkah. Sejak berpisah 2016 lalu, dia menjadi tulang punggung keluarga dengan berjualan gorengan di warung gerobak sederhana dekat rumahnya. Namun semenjak pandemi ini, usaha Suparmi ikut gulung tikar.
Handphone satu-satunya yang dimiliki Suparmi digunakan Dwi untuk belajar secara daring. Sedangkan Wili dan Widi, tak memiliki pilihan lain, selain mengandalkan milik tetangga yang berbaik hati meminjamkan gawainya kepada mereka.
Utang untuk Beli Kuota
Seorang anak bernama Alfiatus Sholehah, siswi kelas VB SDN Pademawu Barat, Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur, mengirim surat ke Mendikbud Nadiem Makarim.
Alfiatus mengatakan kedua orang tuanya adalah buruh tani. Sementara ia harus belajar menggunakan telepon pintar.
“Sedangkan saya tidak punya. Saya juga merasa kasihan karena Ibu saya harus cari utangan untuk membeli paket internet agar saya bisa belajar di rumah,” ujar Alfiatus.
Alfiatus bercerita ia ingin segera masuk ke sekolah dengan normal. Surat itu ditulis saat Ramadhan 2020 masih berjalan. Ia mengatakan, merindukan aktivitas bulan ramadhan di sekolah.
“Biasanya di sekolah diadakan kegiatan Pondok Ramadan. Tapi karena corona semua itu tidak ada lagi,” ujar Alfiatus.
Bagaimana Pak Menteri, dengarlah ‘derita’ mereka !