Oleh A. Safril Mubah
Pemilihan Presiden Taiwan pada 13 Januari 2024 akan menentukan pola relasi Taiwan dengan Tiongkok di masa mendatang. Hasil pilpres bakal berdampak signifikan pada seberapa dekat atau jauh hubungan kedua negara tersebut. Terlepas dari siapapun yang terpilih menjadi presiden nantinya, inilah pertaruhan masa depan hubungan Taiwan dan Tiongkok.
Ada tiga pasang calon presiden dan calon wakil presiden yang berkontestasi dalam Pilpres Taiwan. Pertama, Capres Lai Ching-te dan Cawapres Hsiao Bi-khim dari partai penguasa, Partai Progresif Demokratik (DPP).
Lai adalah wakil presiden saat ini dalam pemerintahan Presiden Tsai Ing-wen. Sebelumnya, dia pernah menjabat anggota Dewan Perwakilan Rakyat (1999-2010), Walikota Tainan (2010-2017), dan Kepala Eksekutif Taiwan (2017-2019).
Sementara, Hsia adalah mantan anggota DPR (2002-2008 dan 2012-2020) yang baru saja mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Kepala Perwakilan Taiwan untuk Amerika Serikat (2020-2023) setelah ditetapkan sebagai cawapres pada 30 November 2023.
Kedua, Capres Hou Yu-ih dan Cawapres Jaw Shaw-kong yang dinominasikan oleh partai oposisi utama, Kuomintang(KMT). Sejak 2018 hingga kini, Hou menjabat Walikota New Taipei. Dia merupakan purnawirawan jenderal polisi yang pernah menduduki posisi Kepala Kepolisian Taiwan (2008-2010). Pasangannya, Jaw, adalah mantan anggota DPR (1987-1991 dan 1993-1994) dan pemilik jaringan stasiun radio Broadcasting Corporation of China.
Ketiga, Capres Ko wen-je dan Cawapres Cynthia Wu yang dicalonkan oleh Partai Rakyat Taiwan (TPP). Ko adalah Ketua Umum TPP yang pernah menjabat Wali Kota Taipei (2014-2022). Dalam pemilihan Wali Kota Taipei pada 2014 dan 2018, Ko maju melalui jalur independen dan berhasil terpilih sebagai orang nomor satu di Ibu Kota Taiwan.
Pada 2019, dia mendirikan TPP yang lantas menjadi tiketnya untuk berkontestasi dalam pilpres. Ko berpasangan dengan Wu, anggota DPR yang juga putri pengusaha besar Taiwan pemilik Shin Kong Group, Eugene Wu.
Isu Lintas Selat
Dalam setiap kali pilpres, isu yang selalu mengemuka dan cenderung jadi perdebatan panas antar-kandidat adalah hubungan lintas selat. Sejak DPP mengambil alih kekuasaan dari KMT pada 2016, Taiwan semakin bergerak menjauh dari Tiongkok.
Selama masa pemerintahan DPP, Presiden Tsai berambisi untuk mengurangi ketergantungan Taiwan terhadap Tiongkok seperti yang terjadi pada masa pemerintahan Ma Ying-jeou (2008-2016).
Karena itu, melalui New Southbound Policy, Tsai mendorong Taiwan untuk berhubungan semakin erat dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara dan Asia Selatan dengan mengembangkan kerja sama berbasis kemitraan masyarakat.
Hasilnya, di kala nilai total perdagangan dan investasi antara Taiwan dan Tiongkok menurun, kerjasama ekonomi dan sosial budaya antara Taiwan dan 18 negara sasaran New Southbound Policy terus meningkat.
Menurut data statistik Kementerian Hubungan Ekonomi Taiwan, nilai total investasi Tiongkok di Taiwan menurun tajam dari 247,6 juta dollar AS pada 2016 menjadi 38,7 juta dollar AS pada 2022.
Sejalan dengan itu, nilai investasi Taiwan di Tiongkok juga menurun dari 9,7 juta dollar AS ke 5 juta dollar AS pada periode yang sama. Penurunan signifikan tersebut mencerminkan semakin memburuknya hubungan Taiwan dan Tiongkok. Hal itu tidak hanya terjadi di sektor ekonomi, tetapi juga dalam bidang politik dan keamanan.
Dalam ranah diplomatik, Tiongkok terus mempersempit ruang gerak Taiwan di panggung internasional. Pemerintahan Presiden Xi Jinping membujuk negara-negara mitra diplomatik Taiwan untuk memindahkan pengakuannya dari Taipei ke Beijing. Dampaknya, Taiwan kehilangan 9 dari 22 mitra diplomatiknya hanya dalam waktu enam tahun (2016-2022).
Taiwan kini hanya memiliki 13 negara mitra diplomatik dan semuanya adalah negara-negara kecil yang tidak berpengaruh dalam panggung diplomasi global seperti Kepulauan Marshal, Nauru, Palau, Tuvalu, Eswatini, Vatikan, Belize, Guatemala, Haiti, Paraguay, Saint Kitts dan Nevis, Saint Vincent dan Grenadines, dan Saint Lucia.
Masalah keamanan juga menjadi tantangan besar Taiwan. Tiongkok tidak pernah berhenti menggertak Taiwan dengan melontarkan ancaman aneksasi wilayah Taiwan. Bagi Xi, Taiwan adalah wilayah integral yang harus disatukan dalam kedaulatan Tiongkok. Sebaliknya bagi Tsai, Taiwan adalah negara independen yang memiliki kedaulatan sendiri. Posisi inilah yang memicu Tiongkok untuk terus menekan Taiwan.
Setiap hari pesawat tempur Tiongkok selalu melintasi garis tengah Selat Taiwan dan bahkan masuk ke wilayah udara Taiwan. Ketika menyikapi kunjungan Ketua DPR AS Nancy Pelosi ke Taiwan, Angkatan Udara Tiongkok mengirimkan 49 pesawat tempur ke Selat Taiwan pada 5 Agustus 2022. Itulah jumlah terbanyak pesawat tempur Tiongkok yang terbang di Selat Taiwan dalam satu hari. Operasi semacam itu terus dilancarkan hingga kini.
Perbedaan Posisi
Eskalasi ketegangan hubungan Taiwan dan Tiongkok disikapi masing-masing kandidat dengan posisi berbeda. Sebagai bagian dari kabinet Tsai, Lai menegaskan bahwa Tiongkok-lah yang menjadi penyebab meningkatnya ketegangan di Selat Taiwan.
Berbeda dengan Tsai yang bersikap moderat dengan menyatakan bahwa Taiwan sudah menjadi negara independen dan berdaulat sehingga tidak perlu mendeklarasikan kemerdekaan, Lai adalah sosok pemimpin yang sangat vokal menyuarakan kemerdekaan Taiwan.
Namun, setelah ditetapkan DPP sebagai capres, Lai cenderung menahan diri dalam melontarkan pandangannya tentang kemerdekaan Taiwan. Bisa jadi, hal itu merupakan bagian dari strategi karena publik Taiwan sesungguhnya merasa sangat nyaman dengan kondisi status quo.
Survei National Chengchi University, Taiwanese Public Opinion Foundation, dan My Formosa menghasilkan simpulan temuan bahwa mayoritas rakyat Taiwan memilih status quo yang nantinya bergerak menuju kemerdekaan.
Pilihan posisi Lai membuatnya unggul dalam berbagai jajak pendapat dengan selisih rata-rata 3-6 persen di depan Hou. Hal itu jelas tidak disukai Tiongkok sehingga muncul kekhawatiran adanya intervensi pemerintahan Xi terhadap Pemilu Taiwan untuk menghindarkan kemenangan DPP.
Secara historis, Beijing selalu mendukung kandidat KMT mengingat garis politik tradisionalnya untuk menjalin hubungan dekat dengan Tiongkok. Hou menolak tegas kemerdekaan Taiwan dan lebih memilih memaksimalkan dialog dengan Tiongkok guna memperbaiki hubungan kedua belah pihak.
Serupa dengan Hou, Ko sebenarnya juga mendorong Taiwan membuka kembali hubungan dengan Tiongkok. Bedanya, Ko tetap mempertahankan status quo dengan meningkatkan anggaran pertahanan Taiwan sambal terus berkomunikasi dengan Tiongkok untuk meminimalisir terjadinya perang. Dapat dikatakan, Ko mengambil posisi jalan tengah di antara Lai dan Hou.
Mencermati dinamika posisi tersebut, hampir dapat dipastikan perdebatan isu lintas selat akan semakin memanas hingga hari pemungutan suara. Tren menipisnya perolehan poin antarkandidat dalam serangkaian jajak pendapat merefleksikan kemungkinan keketatan selisih suara mereka.
Jika Lai menang, hubungan Taiwan dan Tiongkok semakin merenggang dan bahkan bisa lebih tegang dibandingkan sebelumnya. Sebaliknya jika Hou menang, deeskalasi ketegangan lintas selat sangat mungkin terjadi seiring dengan semakin eratnya relasi Taiwan dan Tiongkok. Sementara, kemenangan Ko berpotensi memperbaiki komunikasi Taiwan dan Tiongkok, tetapi dalam beberapa hal ketegangan tetap mungkin terjadi.
*A. Safril Mubah adalah Dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas
Airlangga dan Alumnus National Chengchi University, Taipei, Taiwan.