Jakarta, Gempita.co – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani disarankan agar mengkaji ulang rencana kenaikan tarif tembakau. Mengingat situasi dan kondisi sentra tembakau yang sangat buruk, sejak dua tahun terakhir, mulai 2019 hingga 2020.
Hal itu diimbau oleh Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), mengingat penyerapan industri hasil perkebunan tembakau juga mengalami penurunan yang luar biasa.
“Perekonomian sentra tembakau ambruk karena lemahnya penyerapan industri dan hancurnya harga pembelian oleh industri,” kata Ketua Dewan Nasional APTI Agus Parmuji, dalam keterangan resminya, Selasa (24/11).
Penyebab dari semua itu, lanjut Agus, karena penetapan tarif cukai 23 persen pada tahun 2020, yang mengakibatkan minimnya penyerapan tembakau lokal.
Bahkan, kondisi tersebut akan bertambah parah, jika Pemerintah tetap mengenakan tarif cukai rokok, khususnya jenis rokok kretek mesin (SKM) sebesar 13 hingga 20 persen. Padahal, SKM merupakan salah satu produk rokok yang banyak menyerap tembakau lokal.
“SKM bisa dikatakan sebagai produk yang padat bahan baku nasional,” katanya.
APTI meminta agar besaran kenaikan cukai produk SKM maksimal hanya sebesar 5 persen saja. Karena kalau tidak ada dinaikkan, keberadaan rokok ilegal jenis SKM juga akan semakin merajalela.
Di sisi lain, APTI menyambut baik rencana Pemerintah untuk tidak menaikkan tarif cukai produk sigaret kretek tangan (SKT). Sebab, SKT merupakan salah satu produk rokok yang dalam proses pembuatannya banyak tenaga kerja.
Mempertahankan Tenaga Kerja
Sehingga tidak ada kenaikan tarif, di sini akan membantu produsen untuk mempertahankan tenaga kerja yang ada.
“Harapan kami, Pemerintah mempertimbangkan kedua produk nasional tersebut agar kenaikan cukai ke depan tidak berdampak pada ambruknya ekonomi masyarakat pertembakauan dan ikutannya,” ujar Agus.
Selain tarif cukai, APTI juga menarik-narik rencana perihal Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT). Dalam aturan sekarang ini, 50 persen dari DBHCHT akan dialokasikan ke sektor pertanian.
Adapun dari alokasi tersebut, petani tembakau hanya memperoleh 10 persen dari total DBHCHT.
“APTI penduduk agar persentasenya dinaikkan hingga minimal 35 persen dan bentuknya berupa bantuan langsung tunai (BLT),” tandasnya.