Gempita.co – Dalam politik, tidak yang ditinggalkan, Mereka yang pernah menjadi bagian dari perjuangan politik akan selalu ada dalam ingatan politik. Seorang pemimpin politik menaruh mereka dalam pikiran dan hati. Setiap kisah perjuangan bersama selalu jadi asupan etis untuk saling mengikat. Kisah politik adalah kisah persaudaraan yang terikat dalam ingatan politis.
Yang luput dari ingatan adalah mereka yang merasa diri ditinggalkan. Mereka merasa jauh sehabis berjuang bersama dalam politik. Ada semacam tindakan eskapis sebab merasa tak dapat apa-apa dari hasil perjuangan politik. Dipikirannya, hanya terlintas pepatah: habis manis sepah dibuang.
Dalam perjuangan politik, ada komunikasi intens. Apa-apa yang dibutuhkan, selalu ada kontak. Setiap ide di-sharing secara saksama. Setiap informasi dibahas dalam kebersamaan. Pokoknya, apa saja yang penting untuk memenangkan perjuangan politik dibahas secara kolektif.
Pasca perjuangan politik, mesti komunikasi tetap ada. Menang politik tak berarti perjuangan politik itu selesai. Justeru, menang politik pertanda perjuangan berat siap menanti di depan mata. Mempertahankan kemenangan itu tidak mudah. Menang berarti realisasi atas semua ide dan pikiran yang telah mendapat persetujuan rakyat. Karenanya, barisan politik mesti tetap utuh, tak usah merasa ditinggalkan. Komunikasi mesti ditinggkatkan karena tanggung jawab politik pasca kemenangan itu berat.
Ada pun realitas minor politik praktis kita. Siapa yang terlibat politik praktis meminta “hak”. Semacam meminta komitmen dari perjanjian yang tak pernah dibuat, tetapi mesti dimengeti. Tak ada makan siang gratis. Do ut des: saya sudah memberi, saya wajib menerima balasan lebih. Itu biasa dalam politik riil.
Realitas yang kita bicarakan itu adalah realitas politik Pilkades/Pilkada/Pilgub/Pilpres/Pileg. Bahwa ada tuntutan yang melintang sepanjang tahun kekuasaan. Mereka yang berhasil mensukseskan sang kandidat, meminta jatah. Tim sukses, partai politik, keluarga, pengusaha, pejabat, media, jurnalis, tokoh masyarakat, budayawan, dll, meminta “surat sakti” meskipun tersirat.
Bagi mereka yang mendapatkan “bagian”, semuanya tidak menjadi soal. All is well. Semua akan baik-baik saja. The winner takes all. Kekuasaan politik benar-benar dinikmati (dengan benar). All the president men mendapat jatahnya masing-masing. Ada yang dapat jatah Menteri, proyek BUMN, promosi jabatan, tim ahli, penasehat, dll. Begitu pun halnya dengan apa yang dibuat oleh pemimpin politik terpilih: gubernur, bupati, wali kota, kepala desa dan anggota legislatif.
Itulah politik dalam hal yang paling praktis. Pas kata Harold Lasswell, politik adalah soal “who gets what, when and how”. Mereka yang ikut berjuang dalam politik, pasti menyelipkan kepentingan minornya di bawah kepentingan mayor (bonum commune). Tanpa itu, politik tidak berjalan in optima forma.
Selain itu, pemimpin pun (kadang) tidak bisa bekerja sama dengan mereka yang pernah jadi lawan (politik). Ia pasti memilih atau mengangkat orang-orangnya sendiri. Orang-orang dekat pasti lebih paham apa yang menjadi visi dan misi sang pemimpin politik. Orang dekat pasti lebih berkomitmen. Orang dekat punya tanggung jawab atas pemimpin yang sudah diperjuangkan.
Lantas, apa yang membuat kawan politik merasa terlepas dari rantai kekuasaan? Soalnya, lagi-lagi, adalah komunikasi. Justru pasca kemenangan politik, mereka tak lagi sempat merapatkan barisan. Apa pun keperluan, mesti ada komunikasi. Cukup sapa, lalu sebutkan apa permintaan. Toh, tidak semua apa yang diinginkan diketahui atau dipahami oleh sang pemimpin. Tak perlu malu, apalagi canggung. Perkawanan politik itu sudah jadi bekal, dan kawan pasti tak datang sebagai penyamun.
Dalam politik, sebenarnya tak ada lupa. Lalu disangkutkan dengan satire politik Pilkada: “kalau jadi, lupa”. Padahal, itu jarang terjadi. Pemimpin selalu punya indera etis untuk melihat mana kawan, mana lawan (mana sengkuni). Justru yang bisanya ada adalah politisasi kata “ditinggalkan”, biar bisa menggiring emosi dan persepsi politik publik. Mengutip filsuf Criss Jami, “friends ask you questions; enemies question you”. Akar soalnya cuma satu, miskomunikasi.
Persoalan miskomunikasi itu biasanya berdampak pada kontestasi politik periode berikutnya. Yang dulu kawan, sekarang lawan. Dulu sekutu, sekarang “musuh”. Tim sukses jadi tim lawan. Itulah risiko dari miskomunikasi politik. Asalnya, ketidakpuasan. Usulnya, kepentingan.
Itulah politik yang dinamis. Tak ada kawan yang abadi dalam politik, selain kepentingan. Mereka yang tidak puas, pasti pisah. Mereka yang tidak mendapat lebih, pasti pindah. Mengutip politisi America Huey Pierce Long (1893-1935), “in a political fight, when you’ve got nothing in favour of your side, start a row in the opposition camp”. Politik membiarkan itu terjadi. Soal tim-tim “kutu loncat” itu bukan menjadi tabo politik praktis.
Yang tabu dalam politik itu adalah mereka yang berparas “sengkuni”. Posisinya tidak jelas dalam tim sukses Paket A atau B atau C atau D, dst. Plintat-plintut. Warna politiknya tidak sesuai dengan pilihan tim politiknya (duri dalam daging tim sukses). Lalu pukul dada ketika ada kandidat lain yang berhasil memenangkan kontestasi politik.
Oleh karena itu, dalam konteks kontestasi politik (Pilkades/Pilkada/Pilgub/Pilpres), perhatian publik pada tim sukses perlu menjadi catatan kritis. Jika ada fenomena tim“kutu loncat”, maka tentu ada kepentingan pribadinya yang belum terpuaskan. Periksalah curriculum jabatannya, riwayat proyeknya, usul tabiat politiknya, asal pilihannya, dll. Semua itu cukup membuat publik menilai kadar kekecewaan tim sukses tersebut.
Akhirnya, berpolitiklah secara damai. Rawat perbedaan dengan perbincangan politik yang akrab. Itu pertanda kita beradab. Selebihnya, bela-lah pilihan masing-masing dengan cara yang paling sederhana: rasional dan komunikatif!