Jakarta, Gempita.co – Pembengkakan biaya hingga ketidakmampuan anggota konsorsium Indonesia untuk membayar kewajiban modal dasar, menjadi kendala proyek Kereta Cepat Jakarta – Bandung jelang target penyelesaian akhir 2022 nanti.
Mulai dari pembengkakan biaya hingga ketidakmampuan anggota konsorsium Indonesia untuk membayar kewajiban modal dasar.
Pembengkakan biaya yang terjadi diprediksi dalam rentang US$ 1,3 – US$ 1,6 miliar atau setara Rp 18,3 triliun – Rp 22,5 triliun dengan kurs (Rp 14.100/US$). Awalnya proyek ini dipatok senilai US$ 6,07 miliar, namun karena keterlambatan penyelesaian diperkirakan biaya proyek bengkak mencapai US$ 7,9 miliar atau Rp 113,1 triliun.
Perencanaan proyek ini seolah terburu-buru. Dimana awalnya Jepang memprakarsai proyek ini, namun disalip pihak China yang juga melakukan studi kelayakan. Menteri BUMN kala itu, Rini Soemarno menyambut baik apa yang dilakukan pihak China.
Pada akhirnya pemerintah Indonesia memilih China untuk membangun proyek ini dengan alasan pihak Jepang tidak mau proyek ini lanjut tanpa jaminan pemerintah, sementara China mau menggunakan skema business to business tanpa jaminan dari pemerintah.
Namun setelah proyek dikerjakan, ternyata tidak semulus apa yang diharapkan. Banyak permasalahan hingga proyek ini mandek dan belum selesai. Padahal proyek yang sudah dimulai dari 2016 itu ditargetkan pengoperasian perdana pada 2021. Meski saat ini sedang didorong oleh pemerintah supaya bisa selesai pada akhir 2022. Sampai saat ini progres konstruksi proyek ini sudah mencapai 79%.
Dari penjelasan banyak pihak permasalahan pembengkakan biaya ini tidak hanya sebatas keterlambatan pembebasan lahan, namun ada hal teknis yang menjadi penghambat.
GM Corporate Secretary Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) Mirza Soraya mengatakan proses pengadaan lahan menjadi salah satu hambatan pengerjaan proyek. Terlebih ada tambahan pengadaan lahan untuk relokasi fasilitas umum yang terdampak pembangunan trase.
“Di situ terjadi penambahan luas lahan karena harus merelokasi fasilitas umum mengganti lahan baru, itu menyebabkan penambahan biaya,” katanya dalam Evening Up, CNBC Indonesia (12/10/2021).
Dalam penggunaan frekuensi GSM-R atau Global System For Mobile Communication yang biasa digunakan untuk telekomunikasi persinyalan kereta juga menambah beban biaya. Menurut Sorya anggaran awal mengacu pada benchmark di China, di sana tidak harus membayar biaya ini kepada pihak manapun.
“Sementara kalau disini jadi harus ada biaya investasi yang dikeluarkan, dan ini di luar anggaran awal karena tadi benchmark di China,” katanya.
Tidak hanya berhenti di situ, biaya membengkak juga disebabkan pembayaran instalasi PLN yang ditanggung KCIC. Juga pekerjaan teknis lain untuk menyelesaikan proyek ini.
Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Septian Hario Seto, mengatakan kondisi geografis wilayah Jawa Barat di luar perkirakan.
“Contoh ada satu tunnel yang mendekat ke arah Bandung, di dalamnya ada batu yang tidak bisa dibor, jadi harus diledakkan. Ini menambah biaya,” katanya.
Sumber: CNBC