Jakarta, Gempita.co – Sebagai lembaga Pusat Unggulan Iptek (center of excellent) dengan fokus unggulan Pemulihan Sumber Daya Ikan, dengan ruang lingkup konservasi jenis, konservasi ekosistem, rehabilitasi habitat, restoking, dan introduksi, Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan (BRPSDI), terus berupaya melaksanakan percepatan proses hilirisasi hasil inovasi dan riset kelautan dan perikanan, agar dapat memberikan manfaat langsung bagi masyarakat
Salah satu hasil riset teknologi BRPSDI adalah Culture Based Fisheries (CBF). CBF merupakan suatu teknologi pemacuan stok yang bertujuan meningkatkan atau memacu rekruitmen alami satu atau beberapa jenis ikan dari kelompok planktivora-herbivora yang dihasilkan dari panti perbenihan, untuk ditebar di suatu badan air dan tumbuh dengan memanfaatkan makanan alami sehingga, produksinya meningkat mendekati daya dukung perairan atau alaminya, dikelola oleh sekelompok masyarakat dengan pendampingan (Ko-manajemen) dan dikembangkan melalui sistem insentif.
Optimalisasi produksi perikanan tangkap berbasis CBF, mensyaratkan kondisi perairan dalam kategori subur-sangat subur (eutrofik-hipereutrofik) dengan status rekruitmen alaminya masih lebih rendah dibanding daya dukung lingkungannya yang ditandai dengan nilai CPUE (Catch per Unit Effort) dan jumlah produksi yang rendah, terdapat komunitas masyarakat yang memanfaatkan, serta peran aktif pemerintah daerah dalam pendampingan serta sumber pembiayaan.
Dampak ekonomi jangka pendek yang diterima dari pengembangan CBF adalah penerimaan dari nilai produksi yang dapat dinikmati secara langsung oleh seluruh anggota kelompok melalui manajemen sistem insentif, sedangkan kesinambungan CBF dapat diupayakan melalui manajemen sisih benih. Selanjutnya, pengembangan CBF secara terintegrasi dapat menjadi pengungkit bagi pertumbuhan sektor ekonomi lain yang berpotensi sebagai mata pencaharian alternatif atau alih profesi bagi masyarakat terdampak baik yang bergerak di bidang perikanan maupun non perikanan.
Beberapa jenis mata pencaharian alternatif yang dapat dikembangkan antara lain; usaha pembenihan ikan tebaran CBF, usaha transportasi air untuk wisata, usaha wisata sport fishing/pemancingan, wisata kuliner, wisata edukasi panen raya CBF, dan usaha pengolahan pasca panen produk CBF. Usaha lain di bidang non perikanan antara lain, usaha warung wisata (kuliner dan cenderamata), usaha transportasi, jasa lainnya.
Keseluruhan dari proses ini diimplementasikan secara ko-manajemen, dimana pemerintah daerah berperan dalam memberikan pendampingan dan penguatan kelembagaan melalui pelatihan, penyuluhan, dan pembiayaan. Beberapa bentuk pelatihan diantara nya pelatihan manajemen kelembagaan, pembenihan, pengawasan, teknik panen, dan pemasaran serta pengolahan produk.
Dalam studi kasus untuk waduk Ir. Juanda, optimalisasi perikanan tangkap melalui pengembangan CBF diestimasi mampu meningkatkan produksi perikanan tangkap hingga 1.500 ton/tahun dan memberikan manfaat dalam memberi ruang bagi masyarakat mendapatkan mata pencaharian alternatif/alih profesi, diantaranya 624 RTP nelayan dengan rata rata penerimaan tunai RP 1.300.000-1.700.000/RTP/bulan melalui sistem insentif; 287 RTP pengolah produk pasca panen (bandeng presto, bandeng cabut duri, bandeng pindang, dan sate bandeng) dengan pendapatan Rp2,25-21 juta/bulan; 30 pembenih ikan tebaran denganrata rata penghasilan Rp3 juta/bulan atau Rp8,7 juta/musim tanam; serta 100 RTP pelayanan wisata panen raya CBF dengan income jasa, paket wisata edukasi, wisata kuliner, dan transportasi air untuk wisatawan.
Sedangkan pengembangan CBF di perairan oxbow di sepanjang Waduk Jatilihur, diestimasi mampu memberikan kontribusi produksi perikanan sebesar 0,6 ton/ha/musim tebar yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber pangan ikani keluarga, menekan pencemaran antropogenik, serta menjadi pengungkit berkembangnya sektor ekonomi masyarakat melalui integrasi perikanan wisata (wisata sport fishing)
Sumber: HUMAS BRSDM