Jakarta, Gempita.co – Pemerintah mengatakan kenaikan harga daging sapi dipicu kenaikan harga sapi bakalan asal Australia selama satu semester terakhir.
Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan Suhanto mengatakan pada Juni 2020 lalu harganya masih berada di kisaran USD2,8 per kilogram berat hidup, namun pada Januari 2021 naik menjadi USD3,78/kg berat hidup.
Menurut dia, faktor utama penyebab kenaikan harga di Australia adalah adanya program repopulasi, pemenuhan permintaan konsumsi dalam negeri, dan peningkatan permintaan dari negara lain terutama di tiga bulan terakhir di negara tersebut.
“Pemerintah dalam jangka pendek telah berkoordinasi dengan pemasok daging sapi dan APDI (Asosiasi Pedagang Daging Indonesia) untuk memastikan kelancaran distribusi pasokan dan ketersediaan daging di pasar di wilayah Jadetabek,” ujar dia dalam siaran pers.
Pemerintah menurut dia juga sudah bertemu dengan importir sapi bakalan dan mengimbau agar membantu menjaga ketersediaan dan keterjangkauan harga hingga Rumah Pemotongan Hewan (PRH).
Harga karkas di tingkat RPH mengalami penyesuaian sekitar 11,6—12,6 persen pada Januari 2021.
Di Jakarta, harga daging sapi kualitas pertama menurut situs Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional, Jumat, rata-rata Rp135.000 per kg.
Harga daging paling mahal di Pasar Jatinegara yaitu Rp140.000 per kg, terendah di Pasar Kramatjati yaitu Rp132.500 per kg.
Harga ini sudah di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp120.000.
“Pemerintah berupaya agar harga daging sapi masih bisa terjangkau oleh masyarakat dengan ketersediaan yang cukup,” ujar dia.
“Pemerintah akan mempersiapkan strategi baru sebagai alternatif guna memenuhi permintaan daging sapi,” lanjut Suhanto.
Perbaiki rantai distribusi
Saat harga daging sapi naik, konsumen cenderung membeli komoditas lain sebagai substitusi, misalnya ayam, ikan atau lauk lainnya.
Hal ini merugikan pedagang daging, karena jualannya tidak laku, sehingga bisa dipahami mengapa asosiasi pedagang seperti Ikatan Pedagang Pasar Tradisional (Ikappi) dan APDI mogok berjualan selama beberapa hari.
Secara umum, hal ini juga memengaruhi konsumsi daging nasional yang saat ini masih sangat rendah sekitar 2 kg per kapita per tahun.
Head of Research Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta mengatakan rantai distribusi daging sapi terlalu panjang, sehingga menimbulkan biaya tambahan sehingga memengaruhi harga jual pada konsumen.
Tahap pertama menurut Felippa, pemerintah memilih mengimpor sapi bakalan yang harus digemukkan dan dipotong di Indonesia.
Setelah itu, daging sapi dijual langsung ke pedagang grosir berskala besar di pasar atau melalui tengkulak di RPH.
Selanjutnya menjual daging sapi ke pedagang grosir berskala kecil.
Merekalah yang menjual daging sapi ke pedagang eceran di pasar tradisional atau supermarket, sebelum akhirnya sampai di tangan konsumen.
“Proses panjang ini tentu menimbulkan biaya tambahan yang tidak sedikit,” ujar dia.
Di sisi lain, kata Felippa pandemi Covid-19 menimbulkan disrupsi pada sektor pertanian dengan penurunan kapasitas produksi dan pengolahan serta kenaikan biaya distribusi akibat penurunan kapasitas logistik.
Menurut Felippa, kebijakan impor daging sapi merupakan langkah strategis untuk dilakukan, mengingat adanya siklus tahunan kenaikan permintaan jelang Ramadan dan Lebaran.
Sementara produksi daging sapi domestik hanya dapat memenuhi sekitar 70 persen permintaan.
“Industri daging domestik masih belum mampu bersaing dengan industri daging luar negeri. Kita sudah melihat bahwa harga tinggi merugikan bukan hanya konsumen tetapi juga pedagang,” ujar dia.
Impor daging, menurut dia adalah langkah tepat untuk menutup kesenjangan ini.
Menurut dia impor merupakan kebijakan efektif jika didukung oleh data yang akurat dan perkiraan waktu yang tepat dalam eksekusinya.
“Fluktuasi harga pangan tentunya merupakan hal yang biasa karena perdagangan pangan tidak lepas dari dinamika pasar berdasarkan produksi, distribusi, dan permintaan,” ujar Felippa.
Sumber: anadolu agency