Gempita.co-Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari melontarkan sinyal kemungkinan sistem proporsional daftar tertutup diterapkan di Pemilu 2024. Artinya, masyarakat tidak lagi memilih langsung caleg, melainkan mencoblos partai politik (parpol).
Hasyim menyebut aturan soal sistem pemilihan ini digugat dan sidangnya masih bergulir di Mahkamah Konstitusi (MK). Ia memprediksi MK akan menetapkan sistem tertutup jika melihat rekam jejak putusan selama ini.
“Ada kemungkinan, saya belum berani berspekulasi, ada kemungkinan kembali ke sistem proporsional daftar calon tertutup,” kata Hasyim dalam acara Catatan Akhir Tahun 2022 di Kantor KPU RI, Jakarta, Kamis (29/12).
Sejumlah politisi mengajukan uji materi terhadap Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi. Mereka meminta MK untuk membatalkan Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu yang mengatur soal sistem pemilihan.
Jika MK mengabulkan gugatan itu, maka sistem proporsional daftar calon tertutup akan kembali diterapkan dalam pemilu mendatang. Surat suara nantinya hanya mencantumkan partai politik dan nomor urut.
Partai politik yang mendapat jatah kursi di DPR ataupun DPRD berhak menentukan orang yang akan duduk di kursi tersebut. Sistem proporsional tertutup ini terakhir diterapkan pada Pemilu 1999.
PDI-Perjuangan (PDIP) menjadi salah satu partai yang mendorong sistem proporsional tertutup. Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto mengklaim sistem proporsional tertutup ini bisa menjadi insentif kaderisasi partai sekaligus menekan biaya pemilu.
“Demi kepentingan bangsa dan negara, sistem ini dapat diubah menjadi proporsional tertutup. Ini lebih penting sebagai insentif bagi kaderisasi Partai,” kata Hasto dalam keterangannya, 27 Februari lalu.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai keinginan kembali pada sistem proporsional tertutup hanya akal-akalan partai politik semata. Menurutnya, parpol ingin memiliki kendali absolut kepada para kadernya yang duduk di parlemen.
“Soal keinginan untuk kembali kepada sistem tertutup itu sih kerjaan parpol-parpol yang oligarkis dan memastikan anggota DPR ditentukan sepenuhnya oleh parpol. Parpol-parpol ini ingin agar kendali mereka atas kader benar-benar absolut,” ujar Lucius kepada CNNIndonesia.com, Kamis (29/12) malam.
Lucius menolak sistem proporsional daftar tertutup kembali dipakai. Ia menilai kondisi parpol saat ini masih amburadul. Lucius tak yakin keinginan mengubah sistem pemilihan ini karena pertimbangan demokrasi.
“Rasanya sulit mempercayai keinginan mereka mengubah sistem pemilu karena pertimbangan demokrasi. Ini hanya kedok saja,” katanya.
Lucius mengatakan meski sistem proporsional terbuka belum sepenuhnya memberikan dampak positif bagi penguatan demokrasi, namun sistem terbuka jelas lebih baik dibandingkan sistem tertutup.
Selain itu, sistem terbuka juga memberikan ruang bagi kader untuk menguji diri, apakah yang bersangkutan mendapatkan kepercayaan konstituen ataupun tidak. Dari sisi pemilih, sistem terbuka memberikan kesempatan untuk memilih wakilnya secara langsung.
“Bagi pemilih, sistem terbuka juga lebih menguntungkan mereka karena hak untuk menentukan wakil yang benar-benar dipercaya bisa terjadi,” ujarnya.
Lucius mengingatkan sistem proporsional tertutup pernah membuat Indonesia masuk dalam kubangan demokrasi semu di bawah rezim Orde Baru. Menurutnya, sistem tersebut telah terbukti gagal.
Lucius mengatakan sistem pemilihan tertutup ini sangat merugikan rakyat. Menurutnya, rakyat memilih wakil rakyat yang tidak jelas siapa orangnya atau seperti istilah membeli kucing di dalam karung.
“Memilih parpol tanpa ruang bagi rakyat untuk memilih sendiri caleg yang dipercaya jelas merugikan rakyat sebagai pemilik mandat. Ini ibarat membeli kucing dalam karung,” katanya.
Mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hadar Nafis Gumay menilai sistem proporsional tertutup sudah tidak relevan lagi diterapkan di Indonesia.
Hadar mengatakan sistem tertutup tak memperhatikan hak kedaulatan yang ada di tangan rakyat. Menurutnya, sistem tersebut juga sering dimanipulasi oleh parpol.
“Jadi sering kali wakil-wakil rakyat yang akhirnya ditetapkan sebagai terpilih itu sebetulnya wakil-wakil rakyat yang tidak dikehendaki oleh masyarakat pemilih,” kata Hadar saat dihubungi CNNIndonesia.com.
Hadar menyebut sistem proporsional terbuka, yang mulai dipakai pada Pemilu 2004, mencerminkan kehendak masyarakat. Ia pun heran ada pihak yang menginginkan sistem tertutup seperti era Orde Baru.
“Kenapa kita harus mengubahnya kembali? Jadi konstitusi itu memberikan jaminan bahwa kedaulatan itu ada di tangan rakyat, bukan di tangan partai politik,” ujarnya.