Gempita.co – Tren Social Commerce yang dipopulerkan TikTok menjadi perhatian, dimana saat ini TikTok Shop berada di ruang kosong regulasi pemerintah.
“Jadi Tiktok Shop ini jadi Social Commerce yang liar karena berada di ruang kosong regulasi. Mau diatur sebagai e-commerce dianggapnya media sosial, mau diatur sebagai media sosial, tapi dia punya e-commerce,” kata Bhima Yudhistira, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) dikutip Uzone.id.
Pemerintah pun harus segera mengambil tindakan secara tegas dan mengatur bahwa Social Commerce harus tetap didefinisikan sebagai PMSE (Perdagangan Melalui Sistem Elektronik) yang telah diatur oleh Permendagri.
“Langsung saja diatur dalam Permendag dan juga PMK (Peraturan Menteri Keuangan) bahwa Social Commerce entah peraturan terpisah atau sendiri, intinya jangan sampai dianak emaskan di tengah kekosongan regulasi,” ujar Bhima.
“Kalau dibiarkan khawatir model seperti tiktok shop ini dikhawatirkan jadi tempat transaksi barang-barang yang ilegal. Barang yang bermasalah, karena tidak diregulasi secara ketat layaknya e-commerce,” tambah Bhima.
Lewat aturan ini, Social Commerce juga didorong untuk mematuhi regulasi HET (Harga Eceran Tertinggi) di beberapa produk, apalagi kebutuhan pokok agar tidak merusak harga pasar.
Kedua, memberikan perlindungan bagi pelaku usaha lokal dan produsen lokal sehingga Social Commerce tidak mengesampingkan usaha di dalam negeri.
Ketiga, memberikan persaingan usaha yang sehat antar pemain perdagangan online agar level playing field-nya sama, yaitu dengan mematuhi pajak sebagaimana platform e-commerce lainnya.
“TikTok Shop ini harus patuh pada pajak, sehingga dari segi perpajakan ada level playing field yang sama dengan platform e commerce. Ini yang membuat persaingan menjadi lebih sehat,” kata Bhima.