Jakarta, Gempita.co – Aspirasi masyarakat yang meminta perlunya Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) untuk segera menggelar sidang dengan agenda tunggal kembali ke Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebelum amandemen yang meliputi Pembukaan, Batang Tubuh dan Penjelasan kini kian menguat.
“Yang menarik, Lembaga Tinggi Negara DPD mendesak Lembaga Tinggi Negara MPR untuk mengoreksi kesalahan fundamental dalam UUD 1945 setelah amandemen,” kata salah satu narasumber Dewan Presidium Konstitusi, Dr. Ichsanuddin Noorsy di Jakarta, Rabu (22/11/2023).
Penasehat Forum Akademisi Indonesia (FAI) itu mengemukakan keterangan tersebut dalam perbincangan dengan wartawan terkait adanya kegiatan bertajuk “Penyampaian Maklumat Dewan Presidium Konstitusi Kembali ke UUD 1945 Sebelum Amandemen” di Gedung Nusantara IV Kompleks DPR/MPR/DPD RI pada Jumat (10/11/2023) lalu.
Maklumat dalam bentuk dokumen yang dirumuskan oleh Dewan Presidium Konstitusi itu diserahkan oleh Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) AA Lanyalla Mahmud Mattalitti bersama Wakil Presiden RI ke-6 Jenderal TNI (Purn.) Try Sutrisno, dan diterima oleh Ketua Fraksi Kelompok DPD di MPR, M. Syukur.
M. Syukur kemudian menyatakan siap meneruskan dokumen yang dirumuskan Dewan Presidium Konstitusi tersebut ke Pimpinan MPR RI agar menjadi kajian prioritas di fraksi fraksi yang ada di MPR.
Adapun Dewan Presidium Konstitusi itu sendiri terdiri dari berbagai elemen rakyat Indonesia yaitu para raja, sultan, sejumlah anggota DPD RI, para guru besar dan akademisi dari berbagai kampus, purnawirawan TNI, ulama serta tokoh dan para pimpinan dari berbagai organisasi kemasyarakatan.
Ketua Dewan Presidium Konstitusi adalah Jenderal TNI (Purn.) Try Sutrisno, Ketua Harian Senator Nono Sampono, dan Ketua Dewan Pengawas (yang juga Ketua DPD RI) AA La Nyalla Mattalitti.
Dr. Ichsanuddin Noorsy selaku narasumber Dewan Presidium Konstitusi lebih lanjut mengemukakan, hasil perubahan UUD 1945 yang telah dilakukan MPR dalam beberapa hal mengandung kontradiksi, baik secara teoritis konseptual maupun praktik ketatanegaraan. Di samping itu terdapat inkonsistensi substansi, baik yuridis maupun teoritis.
Tidak dapat dipungkiri, lanjutnya, tiadanya kerangka acuan atau naskah akademik dalam melakukan perubahan UUD 1945 merupakan salah satu sebab timbulnya inkonsistensi teoritis dan konsep dalam mengatur materi muatan UUD, terlebih prosedur perubahan UUD itu tidak melibatkan rakyat.
Ia juga mengemukakan, dalam maklumat yang dibacakan Try Sutrisno itu Dewan Presidium Konsititusi mendesak kembalinya UUD 1945 yang asli karena UUD yang diamandemen pada 1999 hingga 2002 terbukti telah menghilangkan Pancasila sebagai norma hukum tertinggi dan sebagai identitas konstitusi, selain tidak konsisten dalam konsepsi, teori, dan yuridis.
Lebih dari itu, perubahan UUD 1945 yang terjadi pada 1999 hingga 2002 telah mengaburkan pelaksanaan dan pengamalan Sila Keempat dari Pancasila, dimana kedaulatan rakyat dipindahkan ke Parpol sehingga terjadi politisasi dan komersialisasi di semua lini.
“Ini merusak struktur dan kultur masyarakat Indonesia, dan sadar atau tidak, Pemilihan Presiden secara langsung oleh rakyat itu bukan hanya mengkhianati Pancasila, tetapi juga berakibat lahirnya polarisasi di masyarakat dan bahkan munculnya prahara bangsa,” kata Ichsanuddin Noorsy.(PR)