Jakarta, Gempita.co – Ketua Dewan Pers Mohammad Nuh yang dibacakan oleh Wina Armada Sukardi, Frans Lakaseru, dan Dyah Aryani selaku Kuasa Hukum yang ditunjuk oleh Dewan Pers, menyampaikan keterangan dalam permohonan uji materi atau judicial review Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers di Mahkamah Konstitusi, Selasa (9/11).
Dewan Pers menyatakan pasal UU Pers termasuk Pasal 15 ayat (2) huruf f pemaknaannya telah jelas, tidak multitafsir apalagi sumir.
“Pernyataan bahwa Dewan Pers memonopoli pembentukan semua peraturan dan memiliki kewenangan serta mengambil alih peran organisasi Pers menyusun peraturan di bidang Pers adalah tidak berdasar sama sekali dan sebagai kesesatan berpikir dan kekeliruan pemahaman para Pemohon,” kata Nuh dalam rilis Dewan Pers, Rabu (10/11) malam.
Menurut mantan Mendikbud itu, Dewan Pers menolak dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 15 ayat (5) UU Pers telah menghambat perwujudan kemerdekaan pers dan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum serta bersifat diskriminatif.
“Apalagi, karena Presiden tidak mengeluarkan Surat Keputusan bagi organisasi yang mereka dirikan sehingga Presiden telah menghambat kemerdekaan pers itu sendiri, merupakan tuduhan keji yang tidak berdasar dan menunjukan kesesatan pola pikir serta ketidaktahuan atau ketidakpahaman Para Pemohon,” ujarnya.
Uji materi ke MK diajukan oleh Heintje Grontson Mandagie, Hans M. Kawengian, dan Soegiharto Santoso melalui Kantor Hukum Mustika Raja Law pada 12 Agustus 2021. Ketiganya juga mengajukan judicial review mengatasnamakan diri sebagai anggota Dewan Pers Indonesia.
Dalam petitum-nya, mereka meminta MK memutuskan bahwa Pasal 15 ayat (2) huruf f dan Pasal 15 ayat (5) UU Pers bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dewan Pers berharap MK menolak uji materi ini karena posisi para pemohon, sebagaimana pernyataan pemerintah, tidak mengalami kerugian terkait dengan Pasal 15 ayat (2) huruf f dan Pasal 15 ayat (5) UU Pers.