Gempita.co – Kasus kawin tangkap yang terjadi di Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur (NTT), disebut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), merupakan penculikan dan kekerasan terhadap perempuan.
“Kasus seperti ini tentu mencederai hak perempuan untuk hidup aman tanpa kekerasan. Kawin tangkap merupakan bentuk penculikan dan kekerasan terhadap perempuan. Tentu ini dapat dikategorikan sebagai tindakan kriminal dan bukan bagian dari adat,” kata Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian PPPA Ratna Susianawati saat dikonfirmasi di Jakarta, Sabtu.
Pernyataan itu menanggapi beredarnya video rekaman di media sosial yang memperlihatkan sejumlah pria mengenakan pakaian adat, menangkap seorang perempuan yang sedang berdiri di pinggir jalan. Perempuan tersebut langsung digendong oleh sejumlah pria itu dan dibawa pergi dengan menggunakan mobil bak terbuka.
Peristiwa ini diduga merupakan kawin tangkap, sebuah tradisi di NTT.
Menurut Ratna Susianawati, kasus kawin tangkap sudah sepatutnya dihentikan demi melindungi para perempuan dari kekerasan seksual berbalut budaya.
Selain itu, tambahnya, ada peranan relasi kuasa dalam kasus-kasus kawin tangkap yang tidak layak untuk dipertahankan.
Terkait kasus kawin tangkap di NTT, Ratna Susianawati mengingatkan telah ditandatanganinya Nota Kesepahaman (MoU) Peningkatan Perlindungan Perempuan dan Anak di Kabupaten Sedaratan Sumba oleh Pemprov NTT dan Pemda Sedaratan Sumba pada 2020.
Kementerian PPPA pun meminta aparat penegak hukum agar memproses hukum para pelaku kawin tangkap.
“Untuk itu kami mohon aparat penegak hukum untuk menindak tegas setiap praktik kawin tangkap. Jangan sampai alasan tradisi budaya dipakai hanya sebagai kedok untuk melecehkan perempuan dan anak,” katanya dikutip Antaranews.