WHO Ungkap ini Soal Strategi India Sukses Tangani Tsunami Corona

Tim Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) mengungkapkan beberapa gejala yang paling sering dikeluhkan para pasien COVID-19 di Jakarta

Gempita.co- India mengalami gelombang ke-2 kasus corona mulai awal Maret 2021 dan memuncak pada awal Mei dengan penambahan lebih dari 400.000 kasus corona per hari.

Jumlah kematian akibat COVID-19 pun memuncak sekitar 10 hari kemudian, dengan lebih dari 4.000 kematian dilaporkan setiap harinya.

Bacaan Lainnya
Gempita Bali Transport

Lonjakan ini disebabkan oleh prokes masyarakat yang menurun, namun besar pula peran varian baru corona B.1617 (Delta) yang pertama kali ditemukan India. Musababnya varian Delta lebih menular dan menimbulkan risiko masuk rumah sakit yang lebih tinggi.

Kendati demikian, kasus COVID-19 di India perlahan berhasil melandai. Pada pada awal Juni lalu, mereka akhirnya mencatat penambahan kasus di bawah 100 ribu untuk pertama kalinya dalam dua bulan terakhir.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengungkap ada sejumlah strategi yang berperan dalam melandaikan kasus corona di India. Strategi ini dikenal juga dengan istilah Public Health and Social Measure (PHSM) atau Kesehatan Masyarakat dan Tindakan Sosial.

Berikut langkah-langkahnya:

1. Perbanyak Testing

Proporsi orang yang divaksinasi dua dosis (lengkap) kurang dari 3 persen hingga pertengahan Mei. Sehingga upaya besar harus dilakukan India melalui penerapan PHSM.

Caranya antara lain, promosi berkelanjutan dari tindakan pencegahan penularan individual, diagnosis dini dan isolasi kasus, serta pelacakan dan karantina kontak. Guna memperbanyak isolasi dan karantina pasien, testing perlu diperbanyak. Hal tersebut lalu dilakukan oleh India.

India melakukan 1 juta hingga 2 juta tes per hari atau 5 hingga 10 tes per minggu per 1.000 populasi selama mengalami lonjakan COVID-19. Ini jauh lebih tinggi daripada tolok ukur yang direkomendasikan WHO yaitu 1 tes per minggu per 1.000 populasi.

2. Berani Lockdown

Ketika intensitas penularan corona meningkat, pihak berwenang harus menggunakan tindakan yang lebih ketat untuk membatasi pergerakan seperti lockdown.

Pada 25 April, pemerintah India mendesak negara-negara bagian untuk mempertimbangkan langkah-langkah pengendalian COVID-19 yang ketat.

Khususnya di daerah-daerah dengan kasus tes positif 10 persen atau lebih dalam seminggu terakhir, atau okupansi bed (BOR) isolasi maupun ICU di atas 60%.

Berdasarkan ambang batas ini, hampir semua negara bagian dan Wilayah Persatuan (UT) menjalani pembatasan pergerakan yang ketat.

Meski waktu, penegakan, dan durasinya bervariasi. Ada negara bagian yang lockdown penuh dan asa yang hanya sebagian.

Meninjau pengalaman penerapan PSHM berbagai negara bagian tersebut di India, WHO menyatakan ada pelajaran yang bisa diambil, yakni:

-PHSM bekerja secara efektif bahkan dalam konteks varian yang sangat menular. Dengan menggunakan PHSM, India dapat dengan cepat mengendalikan penularan dari insiden kasus lebih dari 290 per minggu per 100.000 penduduk pada awal Mei hingga kurang dari 30 pada 21 Juni. PHSM harus dilaksanakan dengan intensitas yang lebih besar untuk mengatasi varian Delta.

-PHSM perlu ditingkatkan segera setelah situasi memburuk. Diperlukan waktu 10 hari atau lebih untuk melihat dampak PHSM.

-Implementasi yang tertunda sering dikaitkan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas. Kalau PHSM tertunda, perlu tindakan yang lebih parah dengan durasi yang lebih lama untuk mengembalikan kontrol situasi pandemi.

Kasus di Delhi

Di Delhi, penguncian baru dimulai pada 19 April ketika insiden kasus lebih dari 600 kasus baru per minggu per 100.000 populasi.

Terbukti, Delhi mengalami tantangan besar rumah sakit yang terlalu padat dan kekurangan tempat tidur rumah sakit, oksigen dan pasokan medis lainnya.

-Penegakan kebijakan sangat penting. Dengan pemberlakuan pembatasan pergerakan yang ketat, mobilitas (diukur menggunakan laporan mobilitas komunitas Google) berkurang secara signifikan di sebagian besar negara bagian India.

Penegakan penguncian di Delhi sangat efektif, seperti yang ditunjukkan oleh pengurangan mobilitas yang cepat dan substansial lebih dari 70% dibandingkan sebelumnya.

Hal ini pun diikuti oleh penurunan yang jelas dalam insiden kasus menjadi kurang dari 10 kasus baru per minggu per 100.000 penduduk saat ini.

Tamil Nadu, salah satunya, memprakarsai jam malam dan kemudian lockdown saat kasus awal bahkan lebih rendah daripada Delhi, yakni sekitar 220 kasus per minggu per 100.000 penduduk.

Namun, pengurangan mobilitas tidak mencapai tingkat yang sama seperti Delhi, menunjukkan bahwa penegakan hukum mungkin belum super efektif. Kasus baru terus meningkat selama sekitar dua minggu setelah diberlakukannya lockdown, dan insiden kasus masih lebih dari 70 kasus baru per minggu per 100.000 populasi pada 21 Juni.

-Tindakan tegas harus dibatasi pada bidang yang membutuhkan dan harus terikat waktu, karena dapat menyebabkan konsekuensi sosial ekonomi yang negatif. Jika pembatasan pergerakan diterapkan dan ditegakkan secara tepat waktu, pembatasan tidak harus dalam skala nasional.

Di India, tanggal dan durasi pembatasan ditentukan oleh Pemerintah Negara Bagian. Di sebagian besar negara bagian, penularan berkurang secara substansial dalam tiga hingga enam minggu pembatasan gerakan yang ketat.

-Sistem penilaian situasi dan peringatan fungsional harus tersedia untuk menginformasikan kalibrasi PHSM berbasis risiko. WHO telah merekomendasikan negara-negara untuk secara rutin melakukan penilaian situasi, dengan memantau tingkat penularan seperti insiden kasus, dan kapasitas respons sistem kesehatan seperti BOR untuk menginformasikan penyesuaian berbasis risiko PHSM.

Negara kemudian harus meninjau kesiapan sistem untuk menyesuaikan PHSM di tingkat subnasional dalam konteks varian baru.

-Komunikasi risiko dan keterlibatan masyarakat merupakan faktor penting bagi keberhasilan PHSM. Hasil yang sukses hanya bisa terjadi ketika masyarakat memahami perlunya tindakan tegas dan mematuhi rekomendasi atau kebijakan.

Setiap pemerintah negara bagian harus melakukan upaya untuk mengkomunikasikan alasan dan pedoman pembatasan sosial secara teratur. Organisasi berbasis komunitas juga harus mendukung populasi yang rentan selama lockdown.

Pos terkait

Iklan Layanan Masyarakat Kemenkumham Bali