YLBHI Ungkap Kejanggalan Penggusuran Tanah Adat Basipae

Masyarakat adat Besipae kini terpaksa tinggal di alam terbuka/Foto: BBC News

Jakarta, Gempita.co – Sejumlah kejanggalan pada sertifikat hak pakai yang digunakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Nusa Tenggara Timur (NTT) sebagai dasar penggusuran tanah adat Basipae ditemukan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).

Berdasarkan informasi yang diterima YLBHI, diketahui bahwa Pemprov NTT melalui Polisi Pamong Praja menggusur tanah adat Basipae dengan mendasarkan pada sertifikat Hak Pakai Hak Pakai Nomor 00001 tanggal 19 Maret 2013 seluas 37.800.000 m2 atas nama pemegang Hak Pakai yaitu Dinas Peternakan Provinsi NTT.

Bacaan Lainnya
Gempita Bali Transport

“Dari informasi dan dokumen-dokumen diperoleh, YLBHI mencatat sejumlah kejanggalan dari sertifikat Hak Pakai tersebut,” ujar Wakil Ketua Advokasi YLBHI, Era Purnamasari, melalui siaran resmi kepada media, Sabtu (22/8/2020).

Era mengungkapkan sejumlah kejanggalan itu, di antaranya pertama,Sertifikat Hak Pakai terbit di lokasi yang berbeda. Sertifikat tersebut terbit di atas bidang tanah yang terletak di Kecamatan Amnuban Tengah, sementara tanah dan rumah masyarakat adat Basipae yang digusur oleh Pemprov NTT terletak di Kecamatan Amnuban Selatan;

“Kedua, Sertifikat Hak Pakai tidak mencantumkan asal hak pakai menurut Peraturan Pemerintah No.40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai dapat diterbitkan di atas tanah negara, tanah hak pengelolaan atau tanah hak milik,” papar Era.

“Sertifikat ini bahkan tidak memuat informasi asal tanah apakah berasal dari tanah negara, tanah hak pengelolaan atau tanah milik, termasuk tanah adat,” sambungnya.

Menurutnya, jika berasal dari tanah negara, perlu diperiksa sejarah penguasaannya dan jika berasal dari tanah adat perlu diperiksa apakah masyarakat adat Basipae menyetujui pemberian Hak Pakai tersebut.

“Jika pun ada persetujuan maka harus pula dibuktikan apakah persetujuan tersebut dibuat secara terang dengan kehendak bebas tanpa paksaan tanpa tipu daya atau muslihat. Dalam hal ini apakah persetujuan yang dibuat adalah persetujuan untuk memberikan Hak Pakai untuk Dinas Peternakan Provinsi NTT,” ujarnya.

Era mengatakan, kejanggalan-kejanggalan tersebut telah cukup menjadi alasan untuk menduga adanya cacat prosedur dalam penerbitan sertifikat Hak Pakai.

“Apalagi pemerintah telah mengetahui bahwa di atas tanah tersebut telah berdiam masyarakat adat Basipae dan mengakui kepemilikan tanah masyarakat adat Basipae. Hal ini terlihat dari dilaksanakannya proyek percontohan intensifikasi Peternakan Basipae pada tahun 1982,” jelasnya.

Berdasarkan hal-hal tersebut, pihaknya mengecam penggusuran masyarakat adat Basipae dari tanah adatnya oleh Pemprov NTT.

Pihaknya juga meminta Menteri Agraria/Pertanahan dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) membentuk tim independen guna melakukan uji proses sertifikat Hak Pakai terhadap tanah adat masyarakat Basipae dengan melibatkan publik terutama masyarakat adat Basipae.

“YLBHI meminta Pemprov NTT menghentikan penggusuran tanah dan rumah-rumah masyarakat adat Basipae dan memulihkan hak-hak mereka,” ujarnya.

Selain itu, lanjut dia, YLBHI meminta Polda NTT untuk menghentikan penangkapan-penangkapan terhadap warga dan mengeluarkan warga dari tahanan.

“Kami juga meminta Komnas HAM melakukan pemantauan dan pengkajian lebih jauh tentang dugaan pelanggaran HAM terhadap masyarakat adat Basipae dan meminta Ombudsman Republik Indonesia untuk melakukan pemeriksaan atas dugaan maladministrasi terkait terbitnya sertifikat Hak Pakai di atas tanah masyarakat adat Basipae tanpa pernah ada pelepasan hak masyarakat adat,” pungkasnya.

Pos terkait

Iklan Layanan Masyarakat Kemenkumham Bali