Gempita.co- Belakangan ini publik mengeluhkan mengenai dua belas pertandingan Euro 2020 yang tak disiarkan secara langsung oleh stasiun TV nasional.
Banyak pihak berasumsi bahwa TV nasional pemegang hak siar untuk kategori free to air seolah-olah terlalu memperhitungkan rating dan share sehingga lima dari tujuh pertandingan yang dimainkan pada waktu prime time Indonesia tidak ditayangkan dan justru menayangkan program lain.
Banyak pihak mempertanyakan alasan di balik tidak disiarkannya sejumlah laga seru di fase grup Euro 2020 seperti Wales vs Swiss, Inggris vs Kroasia, Denmark vs Belgia, hingga Hungaria vs Perancis oleh stasiun TV nasional.
Hal ini sangat berbeda dengan gelaran Euro pada enam edisi sebelumnya, meski juga disiarkan langsung oleh stasiun TV nasional yang sama secara beruntun yakni RCTI dan stasiun TV lainnya di bawah naungan MNC Group.
Pada enam edisi sebelumnya, seluruh pertandingan dapat disaksikan secara gratis oleh pemirsa tanpa harus berlangganan TV berbayar maupun layanan streaming berbayar. Pemirsa hanya membutuhkan antena UHF saja untuk dapat menangkapnya selagi terjangkau dengan stasiun pemancar terdekat.
Adapun keberadaan TV berbayar pada enam edisi Euro sebelumnya hanyalah sebagai pelengkap untuk memperluas jangkauan penayangan bagi wilayah yang tidak terjangkau oleh stasiun pemancar UHF dari pemegang hak siar, sekaligus menyiasati pengacakan yang dilakukan stasiun TV nasional untuk transmisi melalui satelit.
Berbeda dengan Euro 2020, IMG selaku pemegang lisensi di wilayah Indonesia membagi penjualan hak siar untuk tiga kategori antara lain free to air (siaran TV nasional melalui frekuensi UHF), pay TV (siaran melalui TV berbayar satelit, kabel, maupun IPTV), serta over the top (siaran melalui streaming).
MNC Group memegang hak siar untuk kategori free to air dan pay TV, sedangkan hak siar untuk over the top dipegang secara eksklusif oleh Mola TV (namun Vision+ juga ikut menayangkan).
Khusus untuk penayangan melalui free to air, MNC Group hanya diperbolehkan menayangkan sebanyak 39 pertandingan saja dengan rincian RCTI menayangkan sebanyak 34 pertandingan, MNCTV lima pertandingan (tiga di antaranya ditayangkan sendirian pada matchday terakhir fase grup), dan iNews sebanyak 36 pertandingan secara simultan dengan RCTI maupun MNCTV.
Dengan kata lain, hanya pay TV dan over the top yang diperbolehkan menyiarkan seluruh pertandingan Euro 2020 secara lengkap tanpa terlewatkan.
Lantas hal tersebut menjadi problem tersendiri karena tak semua orang rela mengeluarkan uangnya untuk membayar 51 pertandingan Euro 2020 yang hanya berlangsung selama sebulan.
Banyak kalangan merasa kenikmatan menonton pertandingan Euro 2020 tak lagi sama seperti turnamen sejenis pada edisi-edisi sebelumnya karena adanya pertandingan yang hanya bisa disaksikan secara berbayar.
Masalah tak berhenti sampai di situ. Mola TV yang memiliki hak siar eksklusif untuk over the top juga tercatat mengalami beberapa kali gangguan teknis saat menayangkan pertandingan seru seperti big match antara Inggris vs Kroasia.
Mengenai hal itu semua, salah satu pemerhati media Apni Jaya Putra telah mengingatkan kepada pecinta sepak bola mengenai komersialisasi siaran olahraga sejak dua tahun yang lalu.
Bahkan, hal tersebut telah merambah kepada penayangan pertandingan olahraga dalam negeri khususnya untuk cabang sepak bola.
Aspek nasionalisme atau sosial nampaknya tak lagi menjadi pertimbangan bagi perusahaan rights holder hingga penyelenggara pertandingan itu sendiri dalam menjual kontennya, motif mengejar keuntungan selalu menjadi prioritas utama.
Bahkan, hal tersebut juga telah menular kepada PSSI yang kini menggandeng Mola TV sebagai mitra broadcaster utama pertandingan Timnas Indonesia (non-turnamen).
Pernyataan Apni Jaya Putra tentang Industri Siaran Olahraga Tangkap Layar Twitter.com/@Apni
“Sekali lagi siaran olahraga itu industri. Nggak ada urusan sama nasionalisme. Ada harga ada rupa. Semua lisensi siaran PSSI dibagi dalam puluhan kategori dan right dibagi lagi dalam sejumlah lisensi. Tinggal adu kuat duit aja untuk memilikinya,” kata Apni Jaya Putra sebagaimana dikutip Kabar Besuki dari akun Twitter @Apni pada 5 September 2019 lalu.
Saat Apni Jaya Putra masih menjabat sebagai Direktur Program dan Berita TVRI, dia merasakan bahwa banyak ketentuan dan batasan yang harus ditaati oleh stasiun TV nasional ketika memperoleh hak untuk menayangkan pertandingan olahraga, khususnya sepak bola.
Selain mengenai jumlah pertandingan yang boleh disiarkan dalam sebuah kompetisi atau turnamen, terdapat ketentuan lainnya yang tak boleh ditawar termasuk di antaranya kewajiban untuk melakukan pengacakan di luar platform terestrial, khususnya melalui satelit.
Dia mencontohkan, pada saat TVRI memperoleh sublisensi pertandingan Liga Inggris maupun Timnas Indonesia pada tahun 2019, TVRI bahkan diharuskan untuk mengganti enkripsi atau acakannya agar tidak dapat dibuka oleh pengguna parabola akhir (end-user).
“Tidak ada pemilik right yang mengizinkan bisskey. TVRI harus patuh pada aturan kontrak yang hanya menayangkan via FTA. Urusan parabola itu sub lisensi pihak lain. Bisskey yang sering diminta oleh katanya ‘pemilik parabola’ itu adalah kode utk membuka acakan antar stasiun yang digunakan pertama kali antar anggota EBU di Eropa. Lah peduli apa kalau dia home use sama biss key,” ujarnya menjelaskan.
Kembali ke konteks penyiaran Euro 2020, aroma intervensi dari Mola TV terkait pembatasan jumlah pertandingan yang disiarkan langsung melalui stasiun TV nasional milik MNC Group tampak begitu terasa meski MNC Group memperoleh hak siarnya secara langsung dari IMG selaku distributor yang ditunjuk UEFA.
Mola TV nampaknya tak ingin uang yang dikeluarkan untuk membeli hak siar Euro 2020 terbuang sia-sia karena hilangnya potensi pelanggan jika pecinta sepak bola lebih memilih untuk menonton semua pertandingan Euro 2020 melalui TV nasional tanpa harus berlangganan.
Hal ini semakin mempertegas bahwa sepak bola kini telah menjadi komoditas bisnis yang bernilai fantastis sehingga perlu biaya ekstra untuk memperoleh kepuasan yang lebih demi menyaksikannya.